Kamis, 01 Oktober 2015

Hubungan Logika Hukum dan Kepastian Hukum

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu tujuan dari adanya hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat.
Kepastian hukum tersebut akan menimbulkan penggunaan hukum yang jelas, pasti dan konsisten.
Logika khususnya logika silogisme juga memiliki suatu kepastian. Premis-premis akan berimplikasi terhadap kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, logika juga mengajarkan bagaimana berpikir benar. Sehingga diharapkan setiap orang dapat melakukan penalaran yang benar sesuai dengan aturan dan metodologi.
Dari uraian di atas nampaknya terdapat hubungan yang berkaitan antara logika hukum dan kepastian hukum. Untuk itu penyusun ingin membahas bagaimanakah hubungan logika hukum dengan kepastian hukum.




1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan diangkat oleh penyusun antara lain: 
  1. Apakah ada hubungan logika hukum dengan kepastian hukum?
  2. Bagaimanakah hubungan logika hukum dengan kepastian hukum? 


1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui hubungan logika hukum dan kepastian hukum.


BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Logika Hukum

2.1.1 Definisi Logika
Istilah logika, dari segi etimologis, berasal dari kata Yunani logos yang digunakan dengan beberapa arti, seperti ‘ucapan, bahasa, kata, pengertian, pikiran, akal budi, ilmu’ (Poespoprodjo, 1981: 2). Dari kata logos kemudian diturunkan kata sifat logis yang sudah sangat sering terdengar dalam percakapan kita sehari-hari. Orang berbicara tentang perilaku yang logis sebagai lawan terhadap perilaku yang tidak logis, tentang tata cara yang logis, tentang penjelasan yang logis, tentang jalan pikiran yang logis, dan sejenisnya. Dalam semua kasus itu, kata logis digunakan dalam arti yang kurang lebih sama dengan ‘masuk akal’; singkatnya, segala sesuatu yang sesuai dengan, dan dapat diterima oleh akal sehat.

Dengan hanya berdasar kepada arti etimologis itu, apa sebetulnya logika masih belum dapat diketahui. Agar dapat memahami dengan sungguh-sungguh hakekat logika, sudah barang tentu orang harus mempelajarinya. Untuk maksud itu, kiranya tepat kalau, sebagai suatu perkenalan awal, terlebih dahulu dikemukakan di sini sebuah definisi mengenai istilah logika itu.

Dalam bukunya Introduction to Logic, Irving M. Copi mendefinisikan logika sebagai suatu studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang digunakan dalam membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat (Copi, 1976: 3). Dengan menekankan pengetahuan tentang metode-metode dan prinsip-prinsip, definisi ini hendak menggarisbawahi pengertian logika semata-mata sebagai ilmu. Definisi ini tidak bermaksud mengatakan bahwa seseorang dengan sendirinya mampu bernalar atau berpikir secara tepat jika ia mempelajari logika. Namun, di lain pihak, harus diakui bahwa orang yang telah mempelajari logika–jadi sudah memiliki pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir–mempunyai kemungkinan lebih besar untuk berpikir secara tepat ketimbang orang yang sama sekali tidak pernah berkenalan dengan prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap kegiatan penalaran. Dengan ini hendak dikatakan bahwa suatu studi yang tepat tentang logika tidak hanya memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tepat, melainkan juga membuat orang yang bersangkutan mampu berpikir sendiri secara tepat dan kemudian mampu membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat. Ini semua menunjukkan bahwa logika tidak hanya merupakan suatu ilmu (science), tetapi juga suatu seni (art). Dengan kata lain, logika tidak hanya menyangkut soal pengetahuan, melainkan juga soal kemampuan atau keterampilan. Kedua aspek ini berkaitan erat satu sama lain. Pengetahuan mengenai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir harus dimiliki bila seseorang ingin melatih kemampuannya dalam berpikir; sebaliknya, seseorang hanya bisa mengembangkan keterampilannya dalam berpikir bila ia sudah menguasai metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir.

Namun, sebagaimana sudah dikatakan, pengetahuan tentang metode-metode dan prinsip-prinsip berpikir tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bagi seseorang dapat terampil dalam berpikir. Keterampilan berpikir itu harus terus-menerus dilatih dan dikembangkan. Untuk itu, mempelajari logika, khususnya logika formal secara akademis sambil tetap menekuni latihan-latihan secara serius, merupakan jalan paling tepat untuk mengasah dan mempertajam akal budi. Dengan cara ini, seseorang lambat-laun diharapkan mampu berpikir sendiri secara tepat dan, bersamaan dengan itu, mampu pula mengenali setiap bentuk kesesatan berpikir, termasuk kesesatan berpikir yang dilakukannya sendiri.[1]

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, logika merupakan (1) pengetahuan tentang kaidah berpikir, (2) jalan pikiran yang masuk akal. Menurut Munir Fuadi logika berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran adalah suatu bentuk pemikiran. Kelsen memandang ilmu hukum adalah pengalaman logikal suatu bahan di dalamnya sendiri adalah logikal . Ilmu hukum adalah semata-mata hanya ilmu logikal. Ilmu hukum adalah bersifat logikal sistematikal dan historikal dan juga sosiologikal.[2]

Logika dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa aspek atau sudut pandang. Di antaranya ialah berdasarkan sumber dari mana pengetahuan logika diperoleh, sejarah perkembangan, bentuk dan isi argumen, dan proses atau tata cara penyimpulan.


a. Logika Alamiah
Dari nama istilah itu saja sudah tampak apa maksudnya. Setiap manusia, dari kodratnya, memiliki jenis logika ini justru karena ia adalah makhluk rasional. Sebagai makhluk rasional, ia dapat berpikir. Hukum-hukum logika yang dibawa sejak lahir ini memungkinkan manusia dapat bekerja dan bertindak, baik secara spontan maupun di sengaja. Dengan perkataan lain, dengan mendasarkan diri pada akal sehat saja, manusia mampu berpikir dan bertindak. Tetapi, hukum-hukum logika ini hanya dapat membantu manusia dalam menghadapi hal-hal keseharian yang bersifat rutin dan sepele. Bila manusia mulai dihadapkan kepada masalah-masalah yang sulit dan kompleks, maka logika alamiah dengan hukum-hukum akal sehatnya sudah tidak dapat diandalkan. Dalam menghadapi masalah-masalah semacam itu manusia dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai mengenai hukum-hukum, cara-cara, metode-metode bagaimana seharusnya bernalar, sehingga dengan demikian baik proses atau prosedur penalaran maupun kesimpulan yang dihasilkannya betul-betul terjamin kepastiannya. Untuk maksud itulah manusia membutuhkan logika ilmiah.


b. Logika Ilmiah
Uraian di atas memperlihatkan bahwa kelemahan-kelemahan logika alamiah akan dapat diatasi bila manusia memiliki logika ilmiah. Jenis logika kedua ini mampu membekali manusia dengan prinsip-prinsip, norma-norma, dan teknik-teknik tertentu, yang apabila dipatuhi secara sungguh-sungguh, maka ketepatan proses penalaran beserta keabsahan kesimpulan dapatlah dipertanggungjawabkan.

Dengan demikian, berbeda dengan logika alamiah yang didapat secara kodrati, logika ilmiah justru harus diperoleh dengan mempelajari dan menguasai hukum-hukum penalaran sebagaimana mestinya. Kemudian, dengan menerapkan hukum-hukum tersebut secara terus-menerus, setiap bentuk kekeliruan penalaran dapat dihindari.


Sejarah Perkembangan
Ditinjau dari segi pertumbuhan dan perkembangannya, logika biasanya dikenal dalam dua jenis, yakni logika klasik dan logika modern.


a. Logika Klasik
Jenis logika ini merupakan ciptaan Aristoteles (384—322 seb. M), salah seorang filsuf besar yang hidup di zaman Yunani kuno. Dia adalah orang pertama yang melakukan pemikiran sistematis tentang logika. Karena alasan itu, logika ciptaannya itu disebut juga logika Aristoteles atau logika tradisional. Namun demikian, ia sendiri tidak menggunakan istilah logika, melainkan istilah analitika dan dialektika. Dengan analitika dimaksudkan penyelidikan terhadap argumen-argumen yang bertolak dari putusan-putusan yang benar; sedangkan dialektika adalah penyelidikan terhadap argumen-argumen yang bertolak dari putusan-putusan yang masih diragukan kebenarannya.

Bagi Aristoteles logika bukanlah suatu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. Hal ini tampak dari organon (yang berarti ‘alat’), judul yang ia berikan kepada kumpulan karangannya tentang logika. Menurut dia, logika merupakan alat untuk mempraktekkan ilmu pengetahuan. Dengan perkataan lain, baginya logika adalah persiapan yang mendahului ilmu-ilmu. Baru kemudian, pada permulaan abad III Masehi, Alexander Aphrodisias mulai menggunakan istilah logika dengan arti seperti yang dikenal sekarang (Bertens, 1979: 135—6).

Sampai pertengahan abad ke-19 pembicaraan mengenai logika tetap tidak bergeser dari apa yang sudah ditetapkan Aristoteles dalam logika klasik dan tidak mengalami perubahan sedikit pun.


b. Logika Modern
Suatu perkembangan baru dalam logika mulai tampak ketika beberapa ahli matematika Inggris, seperti A. de Morgan (1806—1871) dan George Boole (1815—1864), mencoba menerapkan prinsip matematika ke dalam logika klasik. Dengan menggunakan lambang-lambang non bahasa atau lambang-lambang matematis, mereka berhasil merintis lahirnya suatu jenis logika lain, yakni logika modern, yang disebut juga logika simbolis atau logika matematis, yang sejak pertengahan Abad ke-19 dibedakan dari logika klasik.


Bentuk dan Isi Argumen
Dengan bertolak dari segi bentuk dan isi argumen, logika dapat dibedakan atas logika formal dan logika material. Logika formal membahas masalah bentuk argumen, sedangkan logika material memusatkan perhatiannya pada masalah isi argumen.


a. Logika Formal
Persoalan mengenai bentuk penalaran, yang menjadi pusat penyelidikan dalam logika formal, tidak lain merupakan persoalan yang menyangkut proses penalaran. Dalam hal ini yang dipertanyakan adalah: apakah proses penalaran (dari premis-premis ke kesimpulan) dalam suatu argumen tertentu tepat atau tidak, lurus atau tidak? Bila ternyata proses penalarannya tepat, maka kesimpulan yang dihasilkan pasti tepat juga. Dalam logika formal, argumen seperti itu disebut argumen yang sahih (valid). Jadi, suatu argumen hanya dapat dikatakan sahih dari segi bentuk bila kesimpulan penalaran tersebut memang diturunkan secara tepat atau lurus dari premis-premisnya atau, dengan kata lain, bila kesimpulan yang ditarik itu sungguh-sungguh merupakan implikasi logis dari premis-premisnya. Selain dari itu, bentuk argumen dikatakan tidak sahih. Jelaslah, bahwa yang memainkan peranan kunci bagi sahih atau tidak sahihnya bentuk suatu penalaran adalah premis-premis yang berfungsi sebagai landasan atau dasar penyimpulan. Dengan demikian, penataan premis-premis yang keliru dengan sendirinya akan berakibat pada kesimpulan yang keliru pula.


b. Logika Material
Bila logika formal berbicara tentang tepat tidaknya proses penalaran, maka logika material berurusan dengan benar tidaknya proposisi-proposisi yang membentuk suatu argumen. Itu berarti bahwa suatu argumen hanya dapat dikatakan benar dari segi isi bila semua proposisi (premis-premis dan kesimpulan)-nya benar, artinya, semua proposisi itu sesuai dengan kenyataan. Jadi, jika satu saja dari proposisi-proposisi dalam suatu argumen tidak benar, maka argumen tersebut, sebagai satu kesatuan, dari segi isi, dikatakan tidak benar.


2.1.2 Logika Hukum
Logika hukum adalah suatu jalan pemikiran tentang bagamana peraturan itu dibuat, dan ditemukan dalam bentuk peraturan dan penemuan hukum.

Kelsen memandang ilmu hukum adalah pengalaman logikal suatu bahan di dalamnya sendiri adalah logikal. Ilmu hukum adalah semata-mata hanya ilmu logikal. Ilmu hukium adalah bersifat logikal sistematikal dan historikal dan juga sosiologikal.

Logika hukum berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran adalah suatu bentuk dari pemikiran. Penalaran tersebut bergerak dari suatu proses yang dimulai dari penciptaan konsep (conceptus), diikuti oleh pembuatan pernyataan (propositio),kemudian diikuti oleh penalaran (ratio cinium, reasoning).

Logika hukum (legal reasoning) mempunyai dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, logika hukum berhubungan dengan aspek psikologis yang dialami hakim dalam membuat suatu penalaran dan putusan hukum. Logika hukum dalam arti sempit, berhubungan dengan kajian logika terhadap suatu putusan hukum, yakni dengan melakukan penelaahan terhadap model argumentasi, ketepatan dan kesahihan alasan pendukung putusan (Munir Fuady).

Logika hukum adalah suatu hasil proses berpikir yang dibutuhkan oleh setiap ahli hukum, calon ahli hukum atau penegak hukum. Mempunyai kompetensi untuk menerapkan atau pembentuk hukum selalu memperhatikan antara pertimbangan hukum dan amar putusan. Melakukan perumpamaan selama melakukan proses olah pikir dengan berargumentasi hukum akan memudahkan pemahaman.[3]

Munir Fuady menjelaskan bahwa logika dari ilmu hukum yang disusun oleh hukum mencakup beberapa prinsip diantaranya; Pertama, prinsip eksklusi, adalah suatu teori yang memberikan pra anggapan bahwa sejumlah putusan independen dari badan legislatif merupakan sumber bagi setiap orang, karenanya mereka dapat mengidentifikasi sistem. Kedua, prinsip subsumption, adalah prinsip di mana berdasarkan prinsip tersebut ilmu hukum membuat suatu hubungan hierarkis antara aturan hukum yang bersumber dari legislatif superior dengan yang inferior. Ketiga, prinsip derogasi, adalah prinsip-prinsip yang merupakan dasar penolakan dari teori terhadap aturan-aturan yang bertentangan dengan aturan yang lain dengan sumber yang lebih superior. Keempat, prinsip kontradiksi, adalah adalah prinsip-prinsip yang merupakan dasar berpijak bagi teori hukum untuk menolak kemungkinan adanya kontradiksi di antara peraturan yang ada.[4]

Dapat dikatakan bahwa pengertian dari logika hukum (legal reasoning) adalah penalaran tentang hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara mengargumentasikan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Logika hukum dikatakan sebagai suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dll) ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada.

Logika hukum berfungsi sebagai suatu metode untuk meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran adalah suatu bentuk dari pemikiran. Penalaran tersebut bergerak dari suatu proses yang dimulai dari penciptaan konsep (conceptus), diikuti oleh pembuatan pernyataan (propositio),kemudian diikuti oleh penalaran (ratio cinium, reasoning).

Bagi para hakim logika hukum ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum logika hukum ini berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut. Bagi para penyusun undang-undang dan peraturan, logika hukum ini berguna untuk mencari dasar mengapa suatu undang-undang disusun dan mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan bagi pelaksanaan, logika hukum ini berguna untuk mencari pengertian yang mendalam tentang suatu undang-undang atau peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuannya.[5]


2.2 Kepastian Hukum
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Apabila dilihat secara historis, perbincangan mengenai kepastian hukum merupakan perbincangan yang telah muncul semenjak adanya gagasan pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Guna memahami secara jelas mengenai kepastian hukum itu sendiri, berikut akan diuraikan pengertian mengenai kepastian hukum dari beberapa ahli.

Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu :
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.

Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.

Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut :
  1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
  2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
  3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
  4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
  5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subjektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.

Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif.

Nusrhasan Ismail berpendapat bahwa penciptaan kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu sendiri.

Persyaratan internal tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, kejelasan konsep yang digunakan. Norma hukum berisi deskripsi mengenai perilaku tertentu yang kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu pula. Kedua, kejelasan hierarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Kejelasan hierarki ini penting karena menyangkut sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Kejelasan hierarki akan memberi arahan pembentuk hukum yang mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan tertentu. Ketiga, adanya konsistensi norma hukum perundang-undangan. Artinya ketentuan-ketentuan dari sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan satu subjek tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain.

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
  2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;
  3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
  4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
  5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
  6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
  7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
  8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan.

Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.[6]

Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A. Hart mengomentari kepastian hukum dalam undang-undang. Beliau berpendapat bahwa kadang-kadang kata-kata dalam sebuah undang-undang dan apa yang diperintahkan undang-undang tersebut dalam suatu kasus tertentu bisa jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal inilah menurut H.L.A Hart salah satu contoh ketidakpastian (legal uncertainty) hukum.

Menurut Tan Kamello, dalam suatu undang-undang, kepastian hukum (certainty) meliputi dua hal pertama, kepastian hukum dalam perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian hukum juga berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut.

Jika perumusan norma dan prinsip hukum sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata-mata (law in the books), menurut Tan Kamello kepastian hukum seperti ini tidak akan dan tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Pendapat ini mungkin peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.

Argumentasi yang didasarkan pada asas-asas, dan norma-norma, serta ketentuan-ketentuan hukum sesungguhnya memiliki argumentatif yang didasarkan pada kepastian hukum. Sebagaimana Mahfud MD mengatakan sebenarnya kedua belah pihak yang berhadapan dalam kontroversi hukum hanya mendasarkan pada pandangan dan argumentasi menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut undang-undang. Pendapat ini merupakan sebuah protes terhadap kepastian hukum dalam undang-undang sehingga orang yang bersengketa beralih untuk mendasarkan pada pandangan dan argumentasi menurut logika pilihannya sendiri.

Faisal dalam pandangan lain melihat dari segi putusan-putusan para hakim pengadilan, dalam sarannya mengatakan hakim harus dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pendapat ini muncul sesuai dengan realitas yang menunjukkan kecenderungan terjadi pertentangan antara nilai yang satu dan nilai yang lainnya. Bila telah terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum muncul pula pertanyaan, nilai manakah yang harus didahulukan. Masalah kepastian hukum masih menjadi perdebatan ketika memperhatikan perkara-perkara tertentu, terutama di kalangan para hakim yang mempertimbangkan dalam putusannya secara berbeda-beda.

Kepastian hukum pada negara hukum (rechtstaat) dalam sistem eropa kontinental (civil law) positivistik hukum merupakan prioritas utama meskipun dirasakan sangat tidak adil, namun setidaknya menimbulkan kepastian hukum dalam arti law in the books. Apakah kepastian hukum dalam arti law in the books tersebut akan pasti dilaksanakan secara substantif, maka dalam hal ini bergantung pada aparatur penegak hukum itu sendiri. Walaupun law in the books mencerminkan suatu kepastian hukum, namun jika aparatur penegak hukum itu sendiri tidak menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tetap saja dikatakan tidak ada kepastian hukum.

Misalnya dalam hal memutus suatu perkara perdata, hakim harus memperhatikan asas-asas, norma-norma, dan ketentuan-ketentuan hukum perdata maupun asas-asas hukum dalam hukum acara perdata sehingga tidak mengeluarkan putusan yang tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum. Kadang-kadang dalam suatu perkara tertentu hakim menjatuhkan putusan yang berbeda dasar pertimbangannya dengan perkara yang lain padahal kualifikasi perkara hampir menyerupai.

Disparitas pendapat (disenting opinion) salah satu contohnya, misalnya pertimbangan antara majelis hakim pengadilan negeri tidak sama dengan pertimbangan majelis hakim pada pengadilan tinggi, maupun Mahkamah Agung. Bahkan dalam satu forum majelis hakim sekalipun perbedaan pendapat itu pasti terjadi dalam menafsirkan hukum dan peristiwa hukum. Ketika perbedaan pendapat ini terjadi, maka perbedaan ini juga termasuk sebagai suatu ketidakpastian hukum dalam persidangan.

Menurut Mahmul Siregar mengatakan kepastian hukum itu harus meliputi seluruh bidang hukum. Kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian hukum secara substansi tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya (hukum acara) dalam putusan-putusan badan peradilan. Antara kepastian substansi hukum dan kepastian penegakan hukum seharusnya harus sejalan, tidak boleh hanya kepastian hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum.

Cicut Sutiarso menyarankan kepastian hukum yang berdasarkan keadilan menurutnya harus selalu ditanamkan untuk menciptakan budaya hukum yang tepat waktu. Mungkin dari pendapat ini kepastian hukum akan lebih ampuh bila para penegak hukum membiasakan diri untuk membudidayakan penegakan hukum (rule of law) secara pasti, tidak pandang bulu, sesuai dengan prinisp equality before the law terhadap semua orang. Inilah gambaran suatu kepastian hukum.

Bila kepastian hukum menjadi primadona dalam penegakan hukum, di lain sisi tidak pula mampu menimbulkan keadilan, karena kepastian hukum dapat menimbulkan seolah-olah hukum tidak berpihak kepada orang yang butuh perlindungan hukum. Munculnya hukum moral (morality law) sebagai bukti bahwa kepastian hukum harus diubah dengan paradigma baru bilamana harus dipertimbangkan secara naluri dan hati nurani hakim-hakim pengadilan. Para hakim akan dikatakan tidak adil bila hanya bersandar pada apa yang dituliskan di dalam undang-undang belaka, tanpa mampu menggali nilai-nilai keadilan di dalam undang-undang. Hakim dalam melihat undang-undang bukan lah seperti kuda pakai kaca mata yang hanya boleh melihat ke depan tanpa boleh melihat ke lain sisi untuk mempertimbangkan hukum berdasarkan hati nurani.[7]


2.3 Hubungan Logika Hukum dengan Kepastian Hukum
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-undangan dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir), dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma lain, sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian peraturan perundang-undangan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma, atau distorsi norma.

Ada dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh karena hukum, dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi dua tugas hukum yang lain, yaitu menjamin keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna; sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai, apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya undang-undang. Dalam undang-undang tersebut tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan. Dalam prakteknya, apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan hukum, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan hukum, sebaliknya tidak jarang pula keadilan hukum mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Apabila dalam prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum, maka keadilan hukum yang harus diutamakan. Alasannya adalah, bahwa keadilan hukum pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan, sedangkan kepastian hukum lahir dari suatu yang konkrit.[8]

Persoalan logika hukum dengan sebuah metode dan penerapan penemuan hukum oleh hakim, baik melalui penafsiran hukum atau konstruksi hukum merupakan persoalan yang penting dalam penegakan hukum di Indonesia dewasa ini. Perkembangan-perkembangan terakhir dalam metode penemuan hukum sangat dibutuhkan oleh para hakim di negeri yang sedang berjuang keras untuk kembali menegakkan rule of law melalui sarana penegakan hukum (law enforcement). Penguasaan terhadap metode mutakhir penemuan hukum mempunyai peran esensial untuk mendukung para hakim mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum secara optimal.

Kepesatan perkembangan pendekatan pasif diperlihatkan oleh lebih dulunya peristiwa-peristiwa hukum yang menuntut kepastian ketimbang hukumnya sendiri, karena interpretasi nas mungkin berbeda. Pemecahan-pemecahannya mudah sekali diucapkan tetapi sulit sekali dirumuskan. Pendekatan logika pasif berprinsip bahwa segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum Islam itu berarti hukum Islam.[9]

Adanya logika hukum dapat memberikan keselarasan para yuris dalam menafsirkan hukum dan melakukan penalaran terhadap suatu persoalan hukum. Hal ini secara tidak langsung juga akan membantu mewujudkan adanya kepastian hukum.


BAB 3. KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Logika hukum (legal reasoning) adalah penalaran tentang hukum yaitu pencarian “reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara mengargumentasikan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan.

Adanya logika hukum dapat memberikan keselarasan para yuris dalam menafsirkan hukum dan melakukan penalaran terhadap suatu persoalan hukum. Hal ini secara tidak langsung juga akan membantu mewujudkan adanya kepastian hukum.


3.2 Saran
Saran yang dapat penyusun berikan antara lain:
  1. Para yuris sebaiknya selalu menggunakan logika hukum dalam melakukan penalaran terhadap persoalan hukum agar menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat;
  2. Kepastian hukum hendaknya memberikan perlindungan bagi setiap subjek hukum. 


DAFTAR PUSTAKA


[1] Umar Faruq. 2013. Peran Logika dalam Ilmu Hukum. http://umar-faruq.blogspot.com/2013/01/peran-logika-hukum.html.
[2] Adityo Ariwibowo. 2014. Logika Hukum. https://adityoariwibowo.wordpress.com/2014/03/27/logika-hukum/.
[3] Ibid.
[4] Munir Fuady. 2010. Dinamika Teori Hukum.
[5] Ibid.
[6] Memahami Kepastian (dalam) Hukum. http://ngobrolinhukum.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/.
[7] Bisdan Sigalingging. 2014. Kepastian Hukum. http://bisdan-sigalingging.blogspot.com/2014/10/kepastian-hukum.html.
[8] La Jaudi. 2013. Argumentasi Tentang Penerapan Tiga Nilai dasar Hukum Dalam Masyarakat. http://lajaudi.blogspot.com/2013/04/argumentasi-tentang-penerapan-tiga.html.
[9] Ahmad Mujahiddin. 2013. Logika Hukum. https://cakimppcii.wordpress.com/2013/08/31/logika-hukum/.

1 komentar:

  1. trimakasih sudah berbagi info mas sangat bermanfaat
    meanrik buat di baca,,

    BalasHapus