Minggu, 15 November 2015

Perwalian Terkait Anak di Luar Perkawinan

BAB. 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Manusia dikenal sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan manusia lainnya. Misalnya untuk makan nasi masyarakat membutuhkan padi yang ditanam oleh petani, untuk pakaian manusia membutuhkan baju yang dibuat oleh penjahit, untuk membangun rumah manusia membutuhkan tukang dan pekerja bangunan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka akan timbul hubungan-hubungan sosial antara manusia yang satu dan manusia yang lainnya tidak dapat dihindari.

Salah satu hubungan manusia yang satu dan manusia lainnya antara lain adanya perkawinan. Perkawinan
dilakukan memiliki tujuan utama yaitu membentuk keluarga yang bahagia. Selain itu perkawinan juga bertujuan untuk menghasilkan keturunan atau anak.  Namun salah satu yang menjadi permasalahan adalah adanya anak di luar perkawinan. Di dalam masyarakat secara luas, anak di luar perkawinan merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Anak di luar perkawinan seringkali dikucilkan dan dianggap sebagai anak haram. Meskipun anak di luar perkawinan telah melanggar norma-norma yang hidup di dalam masyarakat, salah satunya adalah norma agama, namun sebenarnya peraturan perundang-undangan Indonesia telah mengatur tentang anak di luar perkawinan tersebut untuk menghindari gesekan-gesekan sosial di dalam masyarakat.


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diangkat antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan perwalian?
2. Bagaimanakah perwalian terkait anak di luar perkawinan?


1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini antara lain:
1. Untuk memahami tentang perwalian;
2. Untuk memahami perwalian terkait anak di luar perkawinan.


BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perwalian
Perwalian berasal dari kata wali mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau belum akil balig dalam melakukan perbuatan hukum, demikian menurut Prof. Subekti.[1]

Dalam kamus hukum, perkataan “wali” dapat diartikan pula sebagai orang yang mewakili. Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, perwalian ini diatur dalam Pasal 50 ayat (1): Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali; ayat (2): Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.[2]

Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada dalam kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang. Dengan demikian, berada di bawah perwalian.[3]

Pasal 330 Burgerlijk Wetboek (BW) menyatakan: “Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga , keempat, kelima dan keenam bab ini”.[4]

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perwalian ini mempunyai beberapa asas. Pertama, asas tak dapat dibagi-bagi. Kedua, asas persetujuan dari keluarga. Ketiga, orang-orang yang dipanggil menjadi wali atau yang diangkat menjadi wali.

Asas pertama menyebutkan, bahwa perwalian hanya ada satu wali, hal ini dapat kita lihat di dalam Pasal 331 KUH Perdata yang menyebutkan perwalian mulai berlaku:
  1. Jika seorang wali dianggap oleh hakim dan pengangkatan dilakukan dalam kehadirannya. Jika terjadi pengangkatan tidak dalam kehadirannya, saat pengangkatan harus diberitahukan kepadanya;
  2. Jika seorang wali diangkat oleh salah satu dari kedua orang tua pada saat pengangkatan itu karena meninggalnya yang mengangkat, memperoleh kekuatan untuk berlaku dari yang diangkat menyatakan kesanggupannya menerima pengangkatan tersebut;
  3. Jika seorang perempuan bersuami diangkat menjadi wali, baik oleh hakim maupun oleh salah satu dari kedua orang tua, pada saat ia dengan bantuan atau dengan kuasa dari suaminya atau dengan kuasa dari hakim, menyatakan kesanggupan menerima pengangkatan itu;
  4. Jika suatu perhimpunan yayasan atau lembaga sosial tidak atas permintaan atau kesanggupan sendiri, diangkat menjadi wali pada saat mereka menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu;
  5. Dalam hal termaksud dalam Pasal 358 pada saat pengesahan;
  6. Jika seorang menjadi wali karena hukum, pada  saat terjadinya peristiwa yang mengakibatkan perwaliannya.
Dalam segala hal, bilamana suatu pemberitahuan tentang pengangkatan wali diatur oleh satu atau lain pasal. Balai Harta Peninggalan wajib menyelenggarakan pemberitahuan itu selekas-selekasnya.
Pasal 331b KUH Perdata. Jika terhadap anak-anak belum dewasa yang ada di bawah perwalian, diangkat seorang wali lain atau karena hukum orang lain menjadi wali, maka berakhirlah perwalian yang pertama pada saat perwalian yng kedua mulai berlaku, kecuali hakim menentukan saat yang lain.

Perwalian berakhir:
  1. Jika mereka yang belum dewasa, setelah berada di suatu perwalian dipulangkan kembali di bawah kekuasaan orang tua, pada saat penetapan untuk keperluan itu diberitahukan kepada si wali;
  2. Jika mereka yang belum dewasa. Setelah berada di bawah suatu perwalian dipulangkan kembali di bawah kekuasaan orang tua menurut Pasal 206b atau 232b, pada saat berlangsungnya perkawinan;
  3. Jika anak-anak belum dewasa luar kawin dan telah diakui menurut undang-undang disahkan pada saat berlangsungnya perkawinan yang mengakibatkan absahnya anak-anak itu, atau saat pemberian surat-surat pengesahan;
  4. Jika dalam hal teratur dalam Pasal 453, orang yang berada di bawah pengampuan, memperoleh kembali kekuasaan orang tuanya pada saat pengampuan tersebut berakhir.
Dalam asas tersebut di atas mempunyai kekecualian dalam tiga hal. Pertama, jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama ,maka kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi wali serta wali peserta (Pasal 351 KUH Perdata), apabila wali ibu menyebutkan diri dalam perkawinan, maka suaminya, kecuali ia telah dipecat dari perwalian , sepanjang perwalian itu dan selama antara suami istri tiada terpisahkan meja dan ranjang atau harta kekayaan. Demi hukum menjadi kawan wali, disamping istrinya secara tanggung-menanggung bertanggung jawab  sepenuhnya atas segala perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung. Perkawinan walian si suami tadi berakhir, apabila ia dipecat dari itu atau si ibu berhenti menjadi wali. Kedua, jika sampai ditunjuk pelaksana pengurus yang mengurus barang-barang di luar Indonesiahal ini diatur dalam Pasal 361 KUH Perdata

Dalam perwalian ini keluarga harus diminta persutujuan. Dalam hal keluarga tidak ada persetujuan dan tidak datang sesudah diadakan pemanggilan, maka dapat dituntut atas dasar Pasal 524 KUH Pidana.
Ketiga, orang-orang yang dipanggil menjadi wali atau diangkat menjadi wali ada 2 (dua):[5]
  1. Perwalian oleh suami/istri yang hidup paling lama (langstlevende echtgenoot) Pasal 345 KUH Perdata, menyebutkan apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya. Dalam pasal ini, tidak terdapat kekecualian baik suami istri yang hidup berpisah karena perceraian atau pisah meja dan ranjang, jadi bilamana ayah setelah bercerai meninggal dunia, maka si ibu dengan sendirinya menjadi wali atas anak tersebut;
  2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat ini diatur dalam Pasal 355 KUH Perdata yang menyebutkan, masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau wali bagi seorang anaknya atau lebih, berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu. Jika perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan hakim menurut ayat terakhir Pasal 353 KUH Perdata tidak harus dilakukan oleh orang tua lain, atau dengan kata lain orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali, kalau perwalian tersebut memang masih terbuka kalau menurut hukum akan jatuh kepada orang tua yang lain atau oleh karena ada putusan hakim akan jatuh kepada orang tua yang lain maka pengangkatan wali itu tiada diperbolehkan. (lihat Hukum Orang dan Keluarga, oleh R. Soetojo Prawirohamidjojo, S.H., halaman 192).
Sedang Pasal 352 ayat (2) KUH Perdata, menyebutkan bahwa badan-badan hukum tidak boleh diangkat menjadi wali, sedangkan pengangkatan itu harus dilaksanakan dengan wasiat atau dengan akta notaris yang khusus dibuat untuk itu.

Ayat (4) menyebutkan boleh beberapa orang diangkat menjadi wali, dengan urutan kalau yang pertama tidak ada yang berikutnya yang menggantikannya.

Bagaimana perwalian yang diangkat oleh hakim. Hal ini diatur di dalam Pasal 359 ayat (1) KUH Perdata. Bagi sekalian anak belum dewasa, yang bernaung di bawah kekuasaan orang tua dan perwaliannya tidak diatur dengan cara yang sah. Pengadilan negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau memanggil dengan sah pada keluarga sedarah dan semenda.[6]

Jika salah satu orang tua meninggal, menurut undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali dari anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang (wettelijke voogdij). Seorang anak yang lahir di luar perkawinan berada di bawah perwalian orang tua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatannya (datieve voogdij). Ada pula kemungkinan, seorang ayah atau ibu di dalam surat wasiatnya (testament) mengangkat seorang wali untuk anaknya. Pengangkatan yang dimaksudkan akan berlaku, jika orang tua yang lainnya karena sesuatu sebab tidak menjadi wali. Perwalian semacam ini dinamakan perwalian menurut wasiat (testamentaire voogdij).

Pada umumnya dalam tiap perwalian, hanya ada seorang wali saja. Kecuali, apabila seorang wali-ibu (moedervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi medevoogd.

Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali, harus menerima pengangkatan itu, kecuali jika ia seorang istri yang kawin atau jika ia mempunyai alasan-alasan menurut undang-undang untuk minta dibebaskan dari pengangkatan itu. Alasan-alasan itu antara lain jika ia, untuk kepentingan negara harus berada di luar negeri, jika ia seorang anggota tentara dalam dinas aktif, jika ia sudah berusia 60  tahun, jika ia sudah menjadi wali untuk seorang anak lain atau jika ia sendiri sudah mempunyai lima orang anak sah atau lebih.

Ada golongan orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali. Mereka itu, ialah orang yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa, orang yang di bawah curatele, orang yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, jika pengangkatan sebagai wali itu untuk anak yang menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari itu, kepada dan anggota-anggota Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) juga tak dapat diangkat menjadi wali, kecuali dari anak-anaknya sendiri.

Seorang wali diwajibkan mengurus kekayaan anak yang ada di bawah pengawasannya dengan sebaik-baiknya dan ia bertanggung jawab tentang kerugian-kerugian yang ditimbulkan karena pengurusan yang buruk. Dalam kekuasaannya, ia dibatasi oleh Pasal 393 BW, yang melarang seorang wali meminjam uang untuk si anak. Ia tak diperkenankan pula untuk menjual, menggadaikan benda-benda yang tak bergerak, surat-surat sero dan surat-surat penagihan dengan tidak mendapat izin lebih dahulu dari hakim. Selanjutnya seorang wali diwajibkan apabila tugasnya telah berakhir, memberikan suatu penutupan pertanggungan jawab. Pertanggungjawaban ini dilakukan pada si anak, apabila telah menjadi dewasa atau pada warisnya jikalau anak itu telah meninggal.

Semua wali, kecuali perkumpulan-perkumpulan yang diangkat oleh hakim (hakim berkuasa mengangkat suatu perkumpulan menjadi wali), jika dikehendaki oleh Weeskamer, diharuskan memberikan jaminan berupa borgtocht atau hipotik secukupnya menurut pendapat Weeskamer. Jika wali itu tidak suka memberikan tanggungan itu, Weeskamer dapat menuntutnya di depan hakim dan meminta pada hakim supaya pengurusan kekayaan si anak dicabut serta diserahkan kepada Weeskamer itu sendiri.
Dalam tiap perwalian di Indonesia Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) menurut undang-undang menjadi wali pengawas (toeziende voogd). Weeskamer itu berada di Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar,  sedangkan di tempat-tempat lain ia mempunyai cabang (agen). Disamping tiap Weeskamer ada suatu “dewan perwalian” (“voogdijraad”) yang terdiri atas kepala dan anggota-anggota, Weeskamer  itu di tambah dengan beberapa anggota lainnya.

Agar Weeskamer dapat melakukan tugasnya, tiap orang tua yang menjadi wali harus segera melaporkan tentang terjadinya perwalian pada Weeskamer. Begitu pula, apabila hakim mengangkat seorang wali, panitera pengadilan harus segera memberitahukan hal itu pada Weeskamer.[7]

Kewajiban wali adalah:
  1. Kewajiban memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan. Pasal 368 KUH Perdata apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan wali maka ia dapat dikenakan sanksi berupa dapat dipecat dan dapat diharuskan membayar biaya-biaya dan ongkos-ongkos;
  2. Kewajiban mengadakan inventarisasi mengenai harta si anak yang yang diperwalikannya (Pasal 386 KUH Perdata);
  3. Kewajiban-kewajiban untuk mengadakan jaminan (Pasal 335 KUH Perdata);
  4. Kewajiban menentukan jumlah yang dapat dipergunakan tiap-tiap tahun oleh anak tersebut dan biaya pengurusan (Pasal 338 KUH Perdata);
  5. Menjual perabotan rumah tangga dan semua barang bergerak dan tidak memberikan buah atau hasil atau keuntungan kecuali barang-barang yang diperbolehkan disimpan innatura dengan izin Weeskamer (Pasal 389 KUH Perdata);
  6. Kewajiban untuk mendaftarkan surat-surat piutang negara jika ternyata dalam harta kekayaan minderjarigen  ada surat piutang negara (Pasal 392 KUH Perdata);
  7. Kewajiban untuk menanam (belegen)  sisa uang milik menderjarigen setelah dikurangi biaya penghidupan tersebut.
Syarat-Syarat untuk anak yang memperoleh perwalian adalah:[8]
  1. Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun;
  2. Anak-anak yang belum kawin;
  3. Anak tersebut tidak berada di bawah kekuasaan orang tua;
  4. Anak tersebut tidak di bawah kekuasaan wali;
  5. Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Perwalian dapat dikatakan kekuasaan yang diberikan kepada seorang wali sebagai pengganti orang tua terhadap anak yang belum dewasa atau masih berada si bawah umur. Perwalian hadir, karena hukum memandang bahwa anak belum matang baik dari psikis maupun fisiknya sehingga masih belum dapat melakukan perbuatan yang dapat di pertanggungjawaban. Oleh karena itu, untuk anak yang tidak mempunyai atau tidak lengkap orang tuanya yang sah maka perwalian perlu diadakan.


2.2 Perwalian Terkait Anak di Luar Perkawinan
Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan  Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : “ anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.(b). Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Bila dicermati secara analisis, sepertinya bunyi pasal tentang anak sah ini memimbulkan kerancuan, anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Bila dinyatakan “anak yang lahir akibat perkwinan yang sah” tidak ada masalah, namun “ anak yang lahir dalam masa perkawinan yang sah”ini akan memimbulkan suatu kecurigaan bila pasal ini dihubungkan dengan pasal yang membolehkan wanita hamil karenan zina, menikah dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan perempuan hamil karena zina dengan laki laki yang menghamilinya adalah perkawinan yang  sah. Seandainya beberapa bulan sesudah perkawinan yang sah itu berlansung, lahir anak yang dikandungnya, tentu akan berarti anak yang lahir anak sah dari suami yang mengawininya bila masa kelahiran telah enam bulan dari waktu pernikahan.

Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional antara lain:
  1. UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sementara setelah diuji materi menjadi  “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya”.
  2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Apabila disimak dari pengertian  status anak  diluar nikah yang telah di judicial review oleh Mahkamah Konstitusi maka gugatan dari Machica, hanya satu yang dikabulkan MK, yaitu mengubah pasal 43 ayat 1 UU perkawinan. Putusan ini mengakibatkan adanya hubungan perdata antara anak yang dihasilkan di luar pernikahan dengan ayahnya yang bisa dibuktikan dengan teknologi–seperti test DNA. Jelas putusan ini mengundang kontra, karena dalam putusan yang dibacakan ini tidak dinyatakan bahwa anak hasil di luar pernikahan jika anak hasil nikah siri. Apalagi penjelasan dari pihak yang mengeluarkan putusan pun mengatakan bahwa yang dimaksud dengan di luar pernikahan adalah nikah siri atau anak hasil perzinaan, kumpul kebo, selingkuh dan lain sebagainya yang penting anak tersebut bisa dibuktikan hubungan darahnya melalui teknologi yang canggih.

Jelas putusan ini menabrak nilai-nilai suci yang diajarkan agama manapun. Mengapa demikian? Karena putusan ini akan membuka kran bagi perzinaan, perselingkuhan, dan jenis seks bebas lainnya. Khususnya bagi perempuan, mereka akan mudah melakukan seks bebas karena tidak takut lagi jika perbuatannya menghasilkan anak.

Adapun bagi laki-laki menurut Mahfud MD akan menutup seks bebas karena khawatir perbuatannya akan menghasilkan anak. Ini merupakan argumen konyol, karena zaman sekarang banyak terjadi seks bebas yang tidak menghasilkan anak disebabkan pemerintah memprogramkan bagi-bagi kondom. Jika memang putusan ini dimaksudkan Mahfud MD untuk mengurangi perzinaan, seharusnya yang dikabulkan adalah gugatan Machica yang pertama yaitu pengakuan nikah siri dan tidak perlunya pemaksaan pencatatan pernikahan negara, atau negara mempermudah proses pencatatan pernikahan bagi pasangan yang mau menikah dan mempermudah urusan akte kelahiran.[9]

Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu berada di bawah perwalian. Karena perwalian hanya ada, bilamana ada perkawinan, maka dengan sendirinya anak luar kawin yang diakui berada pada perwalian bapak atau ibunya yang telah mengakuinya. Dapat dikecualikan untuk menjadi wali atau kehilangan untuk menjadi wali, Pasal 353 Ayat (1) KUH Perdata menyebutkan, seorang anak tak sah bernaung demi hukum di bawah perwalian bapaknya atau ibunya yang telah dewasa dan yang masing-masing telah mengakuinya, kecali si bapak atau ibunya yang telah dikecualikan dari perwalian atau telah kehilangan hak mereka menjadi wali atau perwalian itu sudah ditugaskan pada orang lain selama bapak atau ibu belum dewasa, atau wali telah mendapat tugas itu sebelum anak diakui.

Anak luar kawin diakui, jika pengakuan itu dilakukan oleh bapak maupun ibunya, sehingga orang tua yang mengakui lebih dahulu itu yang menjadi wali. Apabila pengakuan itu dilakukan dalam waktu yang sama, si bapaklah yang harus memangku perwalian (ex. Pasal 353 Ayat (2) KUH Perdata).
Jika di antara ibu dan bapak yang menurut ketentuan diangkat sebagai wali, lalu diantara mereka ada yang meninggal terlebih dahulu, dipecat atau di bawah pengampuan, maka orang tua yang lain (bapak atau ibu) yang mengakui, dengan sendirinya menjadi wali, kecuali ia telah dikecualikan, dipecat atau kawin lagi. Bilamana si bapak atau si ibu tidak ada, maka pengadilan negeri harus diangkat sebagai wali (ex Pasal 353 Ayat (3) KUH Perdata).

Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat ini diatur di dalam Pasal 355 ayat (1) yang menentukan, bahwa orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua atau wali seorang anaknya atau lebih, berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu. Jika perwalian sesudah bapak atau ibu meninggal dan tidak ada perwalian pada orang tua yang lain, baik sendiri atau karena putusan hakim, seperti yang tercantum di dalam Pasal 353 Ayat (5) KUH Perdata, atau dengan kata lain orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali, kalau perwalian tersebut memang masih terbuka. Menurut hukum, karena putusan hakim akan jatuh kepada orang tua yang lain maka pengangkatan wali itu tiada diperbolehkan, demikian menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, S.H., di dalam Hukum Orang dan Keluarga, halaman 192.

Pengangkatan wali yang diuaraikan di atas tadi tidak mempunyai suatu akibat apa pun juga, jika orang tua yang melakukannya meninggal dunia, tidak melakukan perwalian atas anak-anaknya atau tidak memangku kekuasaan orang tua (ex Pasal 356 KUH Perdata). 

Di dalam perwalian ini, orang-orang yang menjadi wali ada beberapa kekecualian. Memang pada asasnya setiap orang dapat menjadi wali. Yang dikecualikan oleh undang-undang tidak berhak menjadi wali adalah sebagi berikut:
  1. Mereka yang sakit ingatan;
  2. Mereka yang belum dewasa;
  3. Mereka yang ada di bawah pengampuan;
  4. Mereka yang telah dipecat, baik kekuasaan orang tua maupun dari perwalian. Namun yang demikian itu hanya terhadapn anak-anak yang belum dewasa, yang mana dengan ketetapan hakim mereka kehilangan kekuasaan orang tua atau perwalian mereka (ex Pasal 379 KUH Perdata). Ketentuan ini merupakan alasan-alasan sebelum pengangkatan wali dilakukan.
Kewenangan seorang istri untuk menjadi wali, disebutkan bahwa perempuan bersuami tak boleh menerima perwalian itu tanpa bantuan atau izin tertulis dari suaminya (Pasal 332 KUH Perdata). Bagaimana andai kata si suami tidak memberikan izin kepada istrinya. Kalau hal ini tidak ada, maka dapat diganti dengan dari hakim. Disebutkan selanjutnya di dalam Pasal 332b KUH Perdata, apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin, atau apabila ia kawin setelah perwalian dimulai, seperti pun apabila si perempuan tadi menurut Pasal 112 atau Pasal 114 dengan kuasa hakim telah menerima perwalian itu., maka si wali perempuan bersuami atau tak bersuami, berhak melakukan segala tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu.[10]

Anak di luar perkawinan dapat memperoleh perwalian dari orang tua baik bapak atau ibu yang mengakuinya. Di dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya, baik di dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan anak di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya saja sepanjang bapaknya tidak mengakui. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan sebaliknya, anak di luar nikah memiliki hubungan dengan kedua orang tua biologisnya. Putusan MK ini telah bertentangan dengan norma agama dan cenderung kontraproduktif. 


BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang tidak berada dalam kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang. Dengan demikian, berada di bawah perwalian.

Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundang-undangan Nasional. Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu berada di bawah perwalian. Karena perwalian hanya ada, bilamana ada perkawinan, maka dengan sendirinya anak luar kawin yang diakui berada pada perwalian bapak atau ibunya yang telah mengakuinya.


3.2 Saran
Saran yang dapat penyusun berikan antara lain:
  1. Perwalian harus tetap dipertahankan, karena anak masih belum dapat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya;
  2. Masyarakat harus lebih menghormati dan tidak melakukan diskriminasi kepada anak yang lahir di luar perkawinan karena kesalahannya tidak terletak pada anak tersebut. 


DAFTAR PUSTAKA
  • Soimin, S. Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta: Sinar Grafika.
  • Subekti. 2001. Pokok-Pokok Hukum Perdata Cet. 29. Jakarta: Intermasa
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
  • Catatan mata kuliah Hukum Orang dan Keluarga.
  • Rahmat Hidayat. Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Perkawinan Nasional dan Hukum Islam. http://www.negarahukum.com/hukum/status-anak-di-luar-nikah-menurut-hukum-perkawinan-nasional-dan-hukum-islam. html. Diakses 16 Desember 2013


[1]  Dalam Soedharyo Soimin. Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata Barat/ BW, Hukum Islam dan Hukum Adat. Halaman 55.
[2] Ibid.
[3] Subekti. 2001. Pokok-Pokok Hukum Perdata Cet.29. Halaman 52.
[4] Pasal 330 Burgerlijk Wetboek (BW).
[5] Dalam Soedharyo Soimin. Op. Cit. Halaman 58.
[6] Dalam Soedharyo Soimin. Op. Cit. Halaman 56-59.
[7] Subekti. 2001. Op. Cit. Halaman 53-55.
[8] Catatan mata kuliah Hukum Orang dan Keluarga.
[9] Rahmat Hidayat. Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Perkawinan Nasional dan Hukum Islam. http://www.negarahukum.com/hukum/status-anak-di-luar-nikah-menurut-hukum-perkawinan-nasional-dan-hukum-islam.html. Diakses 16 Desember 2013.
[10]  Soedharyo Soimin. Op. Cit. Halaman 59-61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar