Rabu, 03 Februari 2016

Ratifikasi Indonesia Terhadap ICESCR dan ICCPR Serta Implementasinya di Masyarakat

BAB. 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Setelah Perang Dunia II umat manusia telah sepakat akan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Deklarasi Universal HAM telah di ikrarkan oleh hampir semua negara di dunia. Hal ini juga didorong oleh kesadaran manusia akan dampak negatif dari perang baik dalam nyawa, harta benda, waktu dan lain sebagainya.

Sebagai tindakan lanjutan dari Deklarasi Universal HAM, disepakati Kovenan Hak Ekonomi, Sipil dan Budaya (International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights (ICESCR)) dan Kovenan
Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)). ICESCR dan ICCPR memiliki dampak yang signifikan bagi negara peserta dari kovenan tersebut.

Sebagai salah satu negara peserta dari ICESCR dan ICCPR, Indonesia telah meratifikasi ICESCR melalui UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) dan ICCPR melalui UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Implementasi di dalam masyarakat dari adanya UU No. 11 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2005 merupakan salah satu hal yang akan dibahas dalam makalah ini.


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diangkat oleh penyusun antara lain:
  1. Bagaimanakah ratifikasi Indonesia terhadap Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya? 
  2. Bagaimanakah implementasi di dalam masyarakat dari adanya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya? 


1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini antara lain:
  1. Untuk mengetahui lebih dalam tentang Hak Asasi Manusia (HAM);
  2. Untuk mengetahui implementasi di dalam masyarakat dari adanya UU No. 12 Tahun 2005 dan UU No. 11 Tahun 2005. 


BAB. 2 PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik di kalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka.

Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan kebebasan dasar yang dinyatakan oleh DUHAM ke dalam instrumen internasional yang bersifat mengikat secara hukum. Sehubungan dengan hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB meminta Komisi Hak Asasi Manusia (KHAM) PBB yang sebelumnya telah mempersiapkan rancangan DUHAM untuk menyusun rancangan Kovenan tentang HAM beserta rancangan tindakan pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai bekerja pada tahun 1949. Pada tahun 1950, MU PBB mengesahkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung. Setelah melalui perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, MU PBB meminta kepada Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak asasi manusia: (1) Kovenan mengenai hak sipil dan politik; dan (2) Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU PBB juga menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus memuat sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat Pasal yang, akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.

Komisi HAM PBB berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai dengan Keputusan MU PBB pada 1951, masing-masing pada tahun 1953 dan 1954. Setelah. membahas kedua rancangan Kovenan tersebut, pada tahun 1954 MU PBB memutuskan untuk memublikasikannya seluas mungkin agar pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya secara mendalam dan khalayak dapat menyatakan pandangannya secara bebas. Untuk tujuan tersebut, MU PBB menyarankan agar Komite III PBB membahas rancangan naskah Kovenan itu Pasal demi Pasal mulai tahun 1955. Meskipun pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal, naskah kedua Kovenan itu baru dapat diselesaikan pada tahun 1966. Akhirnya, pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A (XXI), MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik bersama- sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik beserta Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976.[1][2]

Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya merupakan suatu instrumen hukum yang lebih kuat dalam mengikat negara peserta jika dibandingkan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kovenan tersebut dapat diwujudkan negara peserta dengan meratifikasinya ke dalam hukum nasional.


2.2 Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan (Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2); hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2);hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1) ).

Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, upaya penegakan dan perlindungan HAM telah mengalami pasang surut. Pada suatu masa upaya tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa lain dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan.

Akhirnya, disadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak mengindahkan penghormatan, penegakan dan perlindungan HAM akan, selalu menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat luas dan tidak memberikan landasan yang sehat bagi pembangunan ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk jangka panjang.

Gerakan reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 telah membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama untuk menegakkan kembali pemajuan dan perlindungan HAM.

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM, Indonesia perlu mengesahkan instrumen- instrumen internasional utama mengenai HAM, khususnya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) serta International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).[3][4]

Keikutsertaan Indonesia dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya seperti telah disebutkan di atas karena dasar negara Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai dari HAM. Hal tersebut terletak pada Pancasila sebagai ideologi bangsa dan pembukaan UUD 1945 sebagai konstitusi. Di dalam sila ke-2 Pancasila mengamanatkan penghormatan terhadap kemanusiaan.

2.3 UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU No.11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

Formulasi dalam ICESCR, “...undertakes to take step,...to the maximum of its available resources, with a view to achieving progressively the full realization of the rights recognized in the present covenant...,” kurang lebih diterjemahkan “berupaya mengambil langkah...memaksimalkan sumber-sumber yang ada dengan maksud mempercepat pencapaian realisasi secara penuh hak-hak yang tertuang dalam kovenan”. Rumusan tersebut memberi indikasi bahwa hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak-hak positif (positive rights). Sebagai hak positif, maka hak ekonomi,sosial dan kultural tak dapat dituntut di muka pengadilan (nonjusticiable) (4:2004).[5]

Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya dari DUHAM dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 31 pasal.

Pembukaan Kovenan ini mengingatkan negara-negara akan kewajibannya menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politiknya.

Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti yang sangat penting pada waktu disahkannya Kovenan ini pada tahun 1966 karena ketika itu masih banyak wilayah jajahan.

Pasal 2 menetapkan kewajiban Negara Pihak untuk mengambil langkah-langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dan memastikan pelaksanaan hak-hak tersebut tanpa pembedaan apa pun. Negara-negara berkembang, dengan memperhatikan HAM dan perekonomian nasionalnya, dapat menentukan sampai seberapa jauh negara-negara tersebut akan menjamin hak-hak ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini bagi warga negara asing. Untuk ketentuan ini, diperlukan pengaturan ekonomi nasional.[6]

Kovenan ini memberikan dampak yang signifikan terutama kepada negara kesejahteraan (welfare staat) seperti Indonesia. Negara harus menjamin terpenuhinya hak ekonomi, sosial dan budaya warga negaranya.


2.4 UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Adanya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya menuntut tanggung jawab negara (istilah Komisi Hukum Internasional: obligations of result), sedangkan hak-hak sipil dan politik menuntut tanggung jawab negara dalam bentuk obligations of conduct. Kovenan tentang hak sipil dan politik, tertuang di dalam Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)/Kovenan SIPOL, dirumuskan “...undertakes to respect and to ensure to all individual within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in present covenant...”, terjemahannya “berupaya menghormati dan meyakinkan semua penduduk di dalam wilayahnya dan tunduk kepada yurisdiksi negara atas hak yang diakui di dalam kovenan ini”. Masih menurut istilah Komisi Hukum Internasional, hak sipil dan politik menuntut tanggung jawab negara dalam bentuk obligation of conduct. Hak sipil dan politik sebagai hak negatif dapat dituntut di muka pengadilan. Lebih luas, dengan mengutip van Hoof, ICESCR menuntut pencapaian bertahap, negara bersifat aktif, tidak dapat diajukan ke pengadilan, bergantung pada sumber daya dan ideologi. Sedangkan ICCPR menuntut pencapaian segera, negara pasif, dapat diajukan ke pengadilan, tak tergantung pada sumber daya, dan non ideologi (5:2002).[7]

Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal.

Pembukaan kedua Kovenan tersebut mengingatkan negara-negara akan kewajibannya, menurut Piagam PBB, untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kemiskinan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak sipil dan politiknya maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya.

Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan Wilayah Yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti yang sangat penting pada waktu disahkannya Kovenan ini pada tahun 1966 karena ketika itu masih banyak wilayah jajahan.

Pasal 2 menetapkan kewajiban setiap Negara Pihak untuk menghormati hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini. Pasal ini juga memastikan bahwa pelaksanaannya bagi semua individu yang berada di wilayahnya dan yang berada di bawah yurisdiksinya tanpa ada pembedaan apapun.[8]

Negara harus menghormati hak sipil dan politik warga negaranya. Negara tidak boleh masuk dalam wilayah hak sipil dan politik warga negaranya. Konvenan ini mengamanatkan agar setiap manusia dapat bebas dalam menikmati hak sipil dan politik sebagai bagian dari HAM.


2.5 Implementasi di dalam Masyarakat dari Adanya Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Hak-hak asasi manusia juga telah melakukan suatu perubahan yang menonjol terhadap aspek-aspek kelembagaan tertentu dari masyarakat internasional.[9]

Perjuangan menegakkan hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan bagian dari tuntutan sejarah dan budaya dunia, termasuk Indonesia. Karena itu, antara manusia dan kemanusiaan seluruh dunia sama dan satu. Perbedaan budaya yang beragam di seluruh dunia hendaknya dipandang sebagai “keragaman bunga indah” di taman firdaus. Justru disinilah indahnya sebuah keragaman. Kredo “Bhinneka Tunggal Ika” merupakan kristalisasi dan pengakuan akan hal ini. Dengan adanya perbedaan dan budaya, maka bila ada budaya yang bertentangan dengan spirit HAM, diperlukan adanya dialog, pendekatan dan penyelesaian bertahap dan terus-menerus. Lewat kemauan dan pendekatan tersebut, segera dapat ditemukan jalan keluar yang baik dan memuaskan.

Karena itu keberadaan dan perkembangan budaya Indonesia yang “berkembang sesuai dengan watak bangsanya” juga tidak lepas dari pengaruh dan garis singgung sesuai budaya asing. Budaya berupa hasil renungan akal budi yang dipertahankan dan dikembangkan terus oleh generasi-generasi berikutnya yang akan semakin kaya dan berkembang sesuai dengan irama zamannya. Wujud budaya dalam bentuk kekayaan spiritual (tembang, puisi, gamelan, lontar dan sebagainya) diakui keberadaannya. Dalam berbagai peninggalan budaya tersebut, banyak ditemukan nilai-nilai dan asas yang mengandung tidak saja penghormatan terhadap HAM, tetapi perkembangan dan tuntutan HAM antara lain pemenuhan spiritual need.

Dilihat dari aspek tersebut, serta dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan dan pola hidup bangsa Indonesia pada umumnya, terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengenal ide, bahkan nilai yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Bukti empiris lain adalah adanya ungkapan-ungkapan yang sudah dikenal sejak nenek moyang, antara lain istilah rembug desa, adat pusako jo kato, mufakat, gotong-royong, tut wuri handayani, kabukit samo mendaki ka lurah samo menurun, musyawarah, dan lain-lain.

Isi/materi nilai filosofi dan etika tersebut selalu mewarnai penyusunan seperangkat paraturan hukum yang diciptakan oleh pemangku adat di seluruh wilayah Indonesia.Dengan demikian, adanya asas demokrasi dan hak asasi manusia terbukti sudah dikenal dalam masyarakat adat Indonesia, malah telah masuk di dalam sistem hukum adat yang ada.[10]

Ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia terhadap Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dapat dirasakan dampaknya di dalam masyarakat. Masyarakat mulai menyadari adanya HAM yang dimilikinya. Isu tentang HAM juga menjadi topik yang sering dibicarakan di dalam media nasional.


BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui UU No.11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

Hak-hak asasi manusia juga telah melakukan suatu perubahan yang menonjol terhadap aspek-aspek kelembagaan tertentu dari masyarakat internasional. Ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia terhadap Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya berdampak cukup signifikan di dalam masyarakat.


3.2 Saran
Saran yang dapat penyusun berikan antara lain:
  1. Masyarakat harus lebih menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai pemberian dari Tuhan;
  2. Dalam menikmati HAM, masyarakat harus tidak melanggar dari HAM yang juga dimiliki oleh orang lain. 


DAFTAR PUSTAKA
  • Cassese, A. 2005. Hak Asasi Manusia di Dunia yang Telah Berubah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Effendi, A. M. 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (Hakham). Bogor Selatan: Penerbit Ghalia Indonesia.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).


[1] Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
[2] Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
[3] Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
[4] Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
[5] Dalam A. Masyur Effendi. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (Hakham). Halaman 130
[6] Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
[7] Dalam A. Masyur Effendi. Op. Cit. Halaman 130
[8] Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
[9] Antonio Cassese. Hak Asasi Manusia di Dunia yang Telah Berubah. Halaman 245
[10] A. Masyur Effendi. Op. Cit. Halaman 128-129

Tidak ada komentar:

Posting Komentar