Jumat, 05 Februari 2016

Konsep Keadilan Ditinjau dari Filsafat Hukum

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Keadilan merupakan persoalan pokok di dalam hukum. Keadilan juga merupakan salah satu tujuan dari hukum. Bahkan di kalangan umum, keadilan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dengan hukum. Namun banyak pula yang menganggap bahwa keadilan masih tidak dapat dicapai melalui hukum saat ini.

Keadilan tidak sama dan sesederhana dengan sama rata. Keadilan pada perkembangannya pun memiliki definisi yang berubah-ubah seiring dengan perkembangan zaman dan pola pikir manusia.


Hakekat definisi keadilan yang sebenarnya sulit ditentukan. Bahkan setiap orang memiliki pandangan yang subjektif tentang bagaimana itu keadilan. Untuk itu penyusun akan mencoba menjabarkan konsep keadilan ditinjau dari filsafat hukum.


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan diangkat oleh penyusun adalah: Bagaimanakah konsep keadilan ditinjau dari filsafat hukum?


1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep keadilan ditinjau dari filsafat hukum.


BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Keadilan atau dalam bahasa Inggris, justice, merupakan bagian dari nilai (value) bersifat abstrak sehingga memiliki banyak arti dan konotasi. Apabila dilihat dari semenjak awal perkembangan peradaban manusia di dunia sampai saat ini, dari seluruh perjalanan sejarah keadilan, khususnya bagi dunia barat, keadilan sering berganti-ganti wajah secara periodik terbentuk berbagai rupa dari keadilan.[1]

Persoalan keadilan sejalan dengan evolusi filsafat hukum. Evolusi filsafat hukum sebagai bagian dari evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar persoalan tertentu yang muncul secara berulang-ulang yaitu keadilan, kesejahteraan, dan kebenaran. Di antara persoalan itu yang paling menonjol dalam kaitannya dengan hukum adalah persoalan keadilan, karena hukum atau aturan perundang-undangan harusnya adil, namun seringkali berkebalikan dan bahkan terabaikan. Hukum selalu berketerkaitan dengan keadilan walaupun sering secara empiric kurang disadari sepenuhnya sebagaimana dikatakan oleh Cicero “tidaklah mungkin mengingkari karakter hukum sebagai hukum yang tidak adil, sebab hukum seharusnya adil,” katanya. Barangkali kita dapat mengatakan bahwa hukum tanpa keadilan ibarat membuat gulai tanpa daging, hampa tak bermakna. Sebaliknya keadilan tanpa hukum ibarat menyeberangi sungai tanpa jembatan, tertatih-tatih.

Keadilan merupakan persoalan fundamental dalam hukum. Kaum naturalis mengatakan bahwa tujuan utama hukum adalah keadilan. Akan tetapi, di dalam keadilan ada sifat relativisme, karena sifatnya yang abstrak, luas, dan kompleks maka tujuan hukum seringkali ngambang. Oleh karena itu, selayaknya tujuan hukum haruslah lebih realistis. Tujuan hukum yang agak realistic itu adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Namun demikian sekalipun kaum positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum dan kaum fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, kitapun dapat mengatakan bahwa summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux (hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya). Jadi walaupun keadilan itu bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.

Apa itu keadilan? Aristoteles, seorang pemikir Yunani mengatakan bahwa unicuique suum tribuere (memberikan kepada setiap orang sesuatu yang menjadi haknya) dan neminem laedere (janganlah merugikan orang lain) atau lengkapnya menurut Kant, honeste vivere, neminem laeder, suum quique tribuere/tribuendi. Berdasarkan pemikiran yang demikian, titik berat para pejuang keadilan berusaha untuk memperjuangkan agar negara memberikan keadilan kepada yang berhak memperolehnya. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka kita wajib memberikan hak itu kepadanya.
Keadilan dapat menunjuk pada tiga hal, yaitu keadaan, tuntutan dan keutamaan. Keadilan sebagai keadaan menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh apa yang menjadi haknya dan diperlakukan sama secara adil pula. Keadilan sebagai tuntutan menyatakan bahwa setiap orang berhak menuntut agar keadilan itu diciptakan baik dengan mengambil tindakan yang diperlukan (bertindaklah bila perlu dan wajar menurut rasa keadilan) maupun dengan menjauhkan diri dari tindakan yang tidak adil (berbuatlah kebajikan dan jauhkanlah diri dari ketidakadilan). Keadilan sebagai keutamaan adalah sebuah tekad untuk selalu berpikir, berkata, dan berperilaku adil, itulah kejujuran yang substantif.[2]

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai segala sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.[3]

Keadilan yang substantive adalah keadilan yang dapat dinikmati oleh setiap warga negara. Dalam perwujudannya terdapat keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara keadilan yang diberikan secara individual dengan keadilan secara kolektif atau keadilan social.[4]


2.2 Keadilan Menurut Para Filosof

2.2.1 Menurut Plato
Socrates, filosof Yunani yang genius ini tidak secara khusus berbicara tentang keadilan. Pandangannya tentang keadilan ditemukan dalam pandangan-pandangan Plato. Menurut pandangan Plato, keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu. Dalam bukunya The Laws, Plato tidak hanya membentangkan pikirannya tentang hukum secara khusus, tetapi juga tentang keadilan, sedangkan hukum secara khusus ditemukan dalam bukunya yang lain, The Republic.

Keadilan dan hukum  memiliki ikatan yang sangat kuat. Keadilan diperoleh melalui penegakan hukum. Hukum menurut Plato adalah hukum positif yang dibuat oleh si pembuat undang-undang yang maha tahu yaitu negara. Baginya negara adalah satu-satunya sumber hukum. Dengan mengatakan bahwa keadilan hanya ada di dalam hukum yang dibuat oleh negara, maka ia diklasifikasinya sebagai penganut monisme hukum dan memang dari Plato lah monisme hukum itu lahir. Monisme berasal dari kata ‘mono’ yang berarti tunggal atau satu-satunya. Dengan demikian, filsafat hukum Plato mengingatkan kita pada filsafat negara totaliter modern yang menempatkan segala aspek kehidupan perorangan di bawah pengawasan hukum dan administrasi negara. Menurut Plato, hukum adalah suatu aliran emas, penjelmaan dari ‘the right reasoning’ (cara berpikir benar). Akan tetapi isi dan sumber pikiran-pikiran itu oleh Plato tidak diberi penjelasan. Dalam kaitannya dengan itu, Plato membuat criteria keadilan adalah ‘kebaikan’ dalam arti harmoni dan pertimbangan dari dalam, yang tidak dapat diketahui atau diterangkan dengan argumentasi ‘rasional’.[5]
Plato memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya.[6]


2.2.2 Menurut Aristoteles
Aristoles adalah seorang filosof yang pertama kali merumuskan arti keadilan. Beliau mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus. Dalam pengertian ini Aristoteles membagi dua jenis keadilan yaitu justitia correctiva (keadilan korektif) dan justitia distributiva (keadilan distributif/membagi). Justitia correctiva (keadilan korektif) mirip dengan justitia commutative menurut Thomas Aquinas atau disebut juga keadilan refitikator yaitu keadilan yang di dasarkan atas transaksi (sunallagamata) baik dilakukan secara sukarela maupun dengan paksaan. Keadilan ini pada umumnya terjadi dalam lapangan hukum privat seperti jual-beli, tukar-menukar, atau sewa-menyewa.

Keadilan distributiva (justitia distributiva) adalah keadilan yang membagi yang membutukan distribusi atas penghargaan. Keadilan ini berkenaan dengan hukum public. Aktualisasi keadilan ini berkaitan dengan kesediaan seseorang berperilaku adil atau tidak adil, tetapi juga berkenaan dengan kebijakan public, yaitu struktur proses-proses politik, ekonomi, social dan budaya dalam masyarakat dan negara pada umumnya. Misalnya, apakah upah buruh ditetapkan secara wajar-tidak wajar atau patut-tidak patut tidak hanya ditentukan pada rasa keadilan sang majikan,melainkan oleh kondisi social, politik dan ekonomi pada umumnya.

Keadilan corrective (justitia correctiva) adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya. Jadi, disini berlaku prinsip kesamaan tanpa memperhatikan jasa-jasa atau amal baktinya. Ia memegang peran dalam hubungan hukum transaksi tukar-menukar barang atau jasa, dalam mana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Corrective justice lebih menguasai hubungan hukum antar individu. Pengertian ini mirip dengan pengertian keadilan komutatif atau justitia commutativa menurut Thomas Aquinas.

Keadaan yang adil menurut Aristoteles adalah suatu keadaan dimana ada keseimbangan atau titik tengah antara dua ekstrim dalam berbagai keadaan, karena baginya dari dunia moral hanya berada di dua kemungkinan: kemaksiatan dan kebajikan. Pandangan ini mirip dengan pandangan Plato. Menurut Plato, harmoni adalah suatu keadaan keseimbangan roh dari dalam yang tidak dapat dianalisa dengan akal. Ajaran Aristoteles ini sebagaimana dalam tulisannya tentang Eticha Nicomacheia, sering dikenal dengan sebutan “ajaran Mesotes”. Jika kita perhatikan bahwa dalam ajaran Aristoteles ini seolah-olah menyamakan hukum dan moral. Ajaran ini yang selalu dikritik oleh Hans Kelsen yang menyebutkan Aristoteles sebagai filosof moral. Hal ini dapat dipahami karena Hans Kelsen mengatakan bahwa hukum dan moral adalah dua hal yang berbeda, hukum harus dipisahkan dari moral, hukum harus murni dan objektif.[7]

Yang sangat penting bagi sudut pandangnya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat perbedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan tiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.[8]


2.2.3 Menurut Thomas Aquinas
Thomas van Aquinas (1274) dalam bukunya yang berjudul Summa Theologica menancapkan ajarannya selama bertahun-tahun selama kekuasaan gereja katolik. Inti ajarannya berkenaan dengan hukum alam. Dalam ajarannya itu Thomas Aquinas (Aquino) dengan berpegang pada ajaran Agustinus sebelumnya yang scholastik (filsafat gereja Katholik), menetapkan tentang hubungan antara nilai agama dan doktrin keilmuan. Pandangannya yang paling utama mengatakan bahwa “kebenaran hanya ada dalam gereja.”. Berdasarkan pandangannya itulah, semua ilmu wajib selaras dengan ajaran gereja (Khatolik). Setiap ajaran yang bertentangan dengan ajaran gereja Khatolik itulah hendaknya dianulir.

Thomas Aquinas, filsuf hukum alam, membagi keadilan atas dua macam yaitu keadilan umum (justitia generalis/universalis) dan keadilan khusus (justitia spesicalis). Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang wajib dikerjakan atau wajib tidak dikerjakan/wajib dihindari demi kepentingan umum. Dalam pembagian Thomas Aquinas keadilan ini disebut justitia  legalis yaitu keadilan berdasarkan hukum. Keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus (justitia spesicalis) ini dibagi lagi atas tiga yaitu: keadilan yang membagi (justitia distributiva), keadilan karena kebersamaan (justitia commutativa) dan keadilan yang memberi (justitia vindicativa).[9]


2.2.4 Menurut Hans Kelsen
Hans Kelsen merupakan salah satu figur utama dalam ajaran yang murni tentang hukum (Reine Rechtslehre) yang menegaskan bahwa pengertian hukum harus dibedakan dengan pengertian keadilan. Menurutnya keadilan adalah persoalan filsafat bukan persoalan hukum. Keadilan tidak memberi jawaban tentang kekuatan berlakunya hukum. Jawaban bagi kekuatan berlakunya hukum sehingga kaidah-kaidahnya wajib dilaksanakan dan ditaati, sangat tergantung pada hubungan yang ditetapkan antara hukum dan keadilan. Hubungan itu pada dasarnya, dengan meminjam pandangan Gustav Radbruch bahwa “hukum bisa saja tidak adil ... tetapi hukum hanyalah hukum karena maunya adil.” Meskipun demikian, hubungan antara hukum dan keadilan seperti yang dirumuskan Radbruch itu belum menjelaskan banyak persoalan tentang hakekat keadilan, dengan begitu, juga timbul persoalan kapankah hukum itu kondusif digunakan untuk menegakkan keadilan. Akan tetapi pandangan Kelsen itu perlu juga dibandingkan dengan pandangan Radbruch itu. Jika keadilan diletakkan di luar hukum, maka orang dapat mencari keadilan tanpa harus melalui hukum.
Melalui analisisnya yang rinci terhadap posisi ajaran hukum alam di satu pihak dan ajaran positivisme di pihak lain, Hans Kelsen tiba pada konsekuensi berikut: norma keadilan yang metafisik pada dasarnya lahir dari ajaran hukum alam yang idealistis. Karena seperti yang sudah terjadi dengan idealisme Plato, idealisme dalam ajaran hukum alam juga menyiratkan dualisme dalam norma keadilan. Yang satu adalah norma keadilan yang sumbernya bersifat transcedental dan yang lain lagi adalah keadilan yang bersumber pada akal budi manusia yang prudential (arif). Itulah sebabnya mengapa ajaran hukum alam sebaliknya bersifat monistik, karena ajaran itu hanya mengakui satu macam keadilan, yaitu keadilan yang lahir dari hukum positif yang diterapkan oleh manusia.

Hans Kelsen kemudian mengambil sikap dengan mengembangkan pandangan yang kemudian dikenal sebagai ajaran hukum murni. Dengan tegas ditulisnya bahwa ajaran hukum murni yang dikembangkannya ini bersifat monistik, dan karenanya hanya mengakui satu macam hukum, yaitu hukum positif. Meskipun demikian, ajaran hukum murni mengakui peranan dari norma dasar (grundnorm) yang merupakan produk dari proses yang transcendental-logis, dan dengan demikian Kelsen mempertahankan metode yang digunakan dalam ajaran hukum alam. Norma dasar itu bukanlah suatu jenis hukum yang lain dari hukum positif, melainkan dasar moral dari hukum positif itu sendiri, grundnorm. Kelsen walaupun ia seorang Platonis, namu ia pun mengkritisi pandangan Plato sebagaimana dilihat di atas, sehingga Kelsen memiliki pandangannya sendiri dengan seorang idealis Platonis yang kritis.[10]


2.2.5 Menurut John Rawls
Tentang keadilan, John Rawls berpendapat bahwa perlu ada keseimbangan, kesebandingan, dan keselarasan (harmony) antara kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama atau kepentingan masyarakat, termasuk di dalamnya negara. Bagaimana ukuran dan keseimbangan itu dibentuk, diperjuangkan dan diberikan itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan tidak dapat diberikan begitu saja, melainkan melalui perjuangan. Itulah inti dari kehidupan ini. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan kestabilan dan ketenteraman dalam hidup manusia. Agar tidak terjadi benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan bersama atau kepentingan masyarakat itu diperlukan aturan-aturan yang dibangun secara adil pula. Disinilah hukum bertindak sebagai wasit, bukan hanya sebagai wasit yang mati hati nuraninya, melainkan wasit yang di adil. Pada masyarakat modern, hukum baru akan dapat ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan.

Hukum menurut John Rawls, dalam konteks yang sedang dibahas, tidak boleh dipersepsikan sebagai wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain sebagaimana diajarkan oleh kaum utilitarianisme. Hal itu tidaklah cukup. Hukum haruslah menjadi hakim yang tidak netral, melainkan selalu berpihak yaitu keberpihakan pada kebenaran dan keadilan. Menurut Rawls hukum haruslah menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya. Jika memang sangat diperlukan, hukum dapat pula menjadi hakim yang memihak, yaitu memihak kepada mereka yang sedang tidak memperoleh keadilan, kaum terpinggirkan. Jadi, hukum harus mampu dan berani melakukan pilihan dan keberpihakan, yaitu berpihak pada orang yang memang berhak diperlakukan dan memperoleh keadilan. Yang perlu ditekankan adalah bahwa John Rawls mengatakan bahwa hukum adalah wasit, bukanlah pemain. Sebagai wasit ia harus memihak pada kebenaran, itulah keadilan.[11]


BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai segala sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.

Keadilan yang substantif adalah keadilan yang dapat dinikmati oleh setiap warga negara. Dalam perwujudannya terdapat keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara keadilan yang diberikan secara individual dengan keadilan secara kolektif atau keadilan sosial.

Para filsuf dan pakar memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam mengartikan tentang konsep keadilan.


3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penyusun antara lain: praktisi hukum terutama hakim sebaiknya mempelajari konsep keadilan secara filosofis agar dapat menjalankan tugas dan pekerjaannya dengan lebih baik dan benar.


DAFTAR PUSTAKA
  • Friedrich, C. J. 2010. Filsafat Hukum: Perspektif Historis. Bandung: Penerbit Nusa Media.
  • Juni, E. H. 2012. Filsafat Hukum. Bandung: CV Pustaka Setia.
  • Rato, D. 2011. Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum. Surabaya: LaksBang Justitia.
  • Keadilan. http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan. [4 November 2014]


[1] Efran Helmi Juni. 2012. Filsafat Hukum. Halaman: 397.
[2] Dominikus Rato. 2011. Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan, dan Memahami Hukum. Halaman: 54-58.
[3]  Keadilan. http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan. Diakses pada 4 Desember 2014.
[4] Dominikus Rato. Op. Cit. Halaman: 98.
[5] Dominikus Rato. Op. Cit. Halaman: 58-59.
[6] Efran Helmi Juni. Op. Cit. Halaman: 398.
[7] Dominicus Rato. Op. Cit. Halaman: 59, 60-61.
[8] Carl Joachim Friedrich. 2010. Filsafat Hukum: Perspektif Historis. Halaman: 24.
[9] Dominicus Rato. Op. Cit. Halaman: 62-63.
[10] Dominicus Rato. Op. Cit. Halaman: 64, 70-71.
[11] Dominicus Rato. Op. Cit. Halaman: 71-72.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar