Rabu, 03 Februari 2016

Pemerintahan Desa Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah salah satu negara terbesar di dunia dilihat dari luas wilayah dan jumlah penduduk. Terlebih lagi Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Dengan keadaan tersebut, Pemerintahan Republik Indonesia tidak dapat hanya diatur oleh tingkat pusat saja, namun memerlukan bantuan dari tingkat daerah yang salah satunya adalah pemerintahan desa. Di saat ini, telah berlaku undang-undang tentang desa yang baru yaitu UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa.


Pemerintahan desa mempunyai peranan yang besar di dalam negara. Karena wilayahnya yang tidak luas, pemerintahan desa dapat masuk lebih dalam di masyarakat. Di dalam desa juga masih ditemukan kelompok-kelompok masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisional masyarakat setempat. Untuk itu penulis akan mencoba membahas tentang pemerintahan desa melalui makalah ini.


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang coba penyusun angkat dalam makalah ini antara lain :
  1. Bagaimana pelaksanaan Pemerintahan Desa?
  2. Bagaimana Pemerintahan Desa berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa?


1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini antara lain :
  1. Untuk memahami pelaksanaan Pemerintahan Desa;
  2. Untuk memahami Pemerintahan Desa berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa.


1.4 Dasar Hukum
Dasar hukum yang digunakan dalam makalah ini antara lain :
  1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;
  3. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
  4. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa.


BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pemerintahan Desa

2.1.1 Pengertian Desa berdasarkan Adat
Negara Republik Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil yang terletak diantara dua benua dan dua samudera (Nusantara) dimana terbentang garis khatulistiwa; memiliki fauna dan flora yang beraneka ragam baik jenis maupun coraknya.

Dalam negara yang berbhinneka tetapi tetap eka seperti itulah sejak dahulu kala bangsa Indonesia sudah berada dalam wadah berbagai tipe unit organisasi wilayah tempat tinggal dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum dengan asas yang berbeda-beda dan nama organisasi yang bermacam-macam.

Kesatuan masyarakat hukum yang demikian banyaknya itu secara garis besar dapat dibagi atas 3 type, yaitu:
  1. Type kesatuan masyarakat hukum berdasarkan kepada teritorial/wilayah tempat tinggal bersama sebagai dasar utama.
  2. Type kesatuan masyarakat hukum berdasarkan kesamaan keturunan/genetic (suku, marga dan clan) sebagai dasar utama untuk dapat bertempat tinggal bersama dalam suatu wilayah tertentu.
  3. Type kesatuan masyarakat hukum berdasarkan asas campuran (teritorial dan keturunan).

Berbagai nama satuan wilayah tempat tinggal bersama dan kesatuan masyarakat hukum di Indonesia khususnya yang berasas teritorial dan campuran telah ikut serta memberikan warna indah dan kekayaan tersendiri dalam budaya Indonesia. Nama-nama tersebut antara lain seperti contoh di bawah ini yaitu :
  1. Desa dengan Kampung, Kapunduhan, Kamandoran, Ampian, Cantilan, Dukuh, Banjar untuk di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Bali;
  2. Dhisa dengan Kampong-Kampong di Madura;
  3. Marga dengan Kampung, Dusun, Tiuh, di Sumatera Selatan (Palembang, Jambi, Lampung dan Bengkulu);
  4. Nagari dengan Kampuang dan Jorong di Sumatera Barat;
  5. Mukim dengan Gampong atau Meunasah di Aceh;
  6. Kuria dengan Huta dan Kesan di Tanah Batak;
  7. Tumenggungan atau Kampung di Kalimantan;
  8. Negorey dengan Soa dan Rumantau di Maluku;.
  9. Wanua dan Negoriy di Minahasa;
  10. Menoa, Laraingu, Kenaikan, Kefetoran dan Kedatoan di Nusa Tenggara Timur;
  11. Banjar dan Lomblan di Nusa Tenggara Barat;
  12. Penanian atau Buah di Tanah Toraja;

Satuan-satuan organisasi kewilayahan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum dengan nama-namanya sebagaimana tersebut diatas itu merupakan satuan organisasi ketatanegaraan sekalipun terkecil dan sederhana yang pada masa lampau telah pula merupakan bagian dari suatu kerajaan.

Nama-nama satuan organisasi kewilayahan tersebut di atas masih disebut-sebut oleh masyarakat awam setempat sehari-hari hingga saat ini.

Sekalipun bermacam-macam nama dan sebutan serta asal mula terbentuknya satuan-satuan organisasi kewilayahan kesatuan masyarakat hukum tersebut, namun asasnya atau landasan hukumnya hampir sama untuk seluruh Indonesia, yaitu berlandaskan kepada adat, kebiasaan dan hukum adat.

Dengan demikian dapatlah secara umum ditemukan suatu pengertian atau batasan tentang Desa atau yang semacam Desa sebagai berikut :
Desa adalah suatu kesatuan masyarakat berdasarkan Adat dan Hukum Adat yang menetap dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasnya; memiliki ikatan lahir dan batin yang sangat kuat, baik karena keturunan maupun karena sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial dan keamanan; memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama; memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.

Setelah memperhatikan hal-hal tersebut di atas maka sebutan Desa pada masa lampau hanya dikenal oleh masyarakat di pulau Jawa, Madura dan Bali, di luar itu sebutan desa untuk organisasi wilayah tempat tinggal Kesatuan Masyarakat Hukum tertentu baru dikenal setelah Indonesia merdeka.

Oleh karenanya akan dapat dimaklumi cukup sulit untuk dapat membuat perumusan atau pengertian yang sangat tepat tentang Desa berdasarkan Adat.[1]


2.1.2 Pengertian Desa berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

a. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
Untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan dan kemantapan sistem kolonialisme maka para pejabat pemerintah Belanda telah memberikan sekedar perumusan tentang sebutan Inlandsche Gemeente sebagai berikut:
Suatu kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kepada Hukum Adat dan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda untuk hal-hal tertentu, dan pemerintahannya merupakan bagian terbawah dari susunan pemerintah Kabupaten atau Swapraja.[2]


b. Masa Pemerintah Pendudukan Balatentara Jepang
Desa-desa oleh Jepang dinilai sebagai bagian yang cukup vital bagi strategi memenangkan “Perang Asia Timur Raya”. Oleh karenanya desa-desa dijadikan basis logistik perang. Kewajiban desa-desa makin bertambah banyak dan bebannya makin bertambah berat. Desa-desa harus menyediakan pangan dan tenaga manusia yang disebut Romusya untuk keperluan pertahanan militer Jepang.

Dengan demikian bagi Jepang pengertian ku (desa) adalah :
Suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda serta pemerintah militer Jepang, yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, merupakan satuan ketatanegaraan terkecil dalam daerah Syu, yang kepalanya dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco dan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer.[3]


c. Sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga Lahirnya Orde Baru
Pada Pasal 1 Undang-Undang Desapraja (No.19 Tahun 1965) dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan desapraja yaitu:
Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.

Jadi desapraja pada undang-undang tersebut di atas itu hanyalah nama baru bagi desa yang sudah ada berabad-abad yang lampau, yang memiliki pengertian sama seperti di atas.[4]


d. Sejak Lahirnya Orde Baru
Pengertian desa yang didasarkan kepada undang-undang yang dapat dipergunakan sebagai pegangan atau patokan bagi berbagai kepentingan baik bagi kalangan masyarakat maupun aparatur pemerintah terdapat pada Pasal 1 huruf a dari Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No. 5 tahun 1979), yaitu:
Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat, termasuk di dalamnya Kesatuan Masyarakat Hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan adanya secara resmi suatu pengertian tentang desa sebagaimana tersebut di atas, maka pengertian atau batasan-batasan tentang desa tidak perlu lagi dirumuskan oleh berbagai pihak maupun dalam berbagai peraturan yang derajatnya di bawah undang-undang.

Sebagai akibat logis adanya pengertian atau batasan desa secara resmi sebagaimana tersebut di atas, maka sekaligus terjadi pula keseragaman sebutan atau nama yaitu desa bagi bermacam bentuk atau corak kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri dengan sebutan atau nama setempat seperti Marga, Nagari, Kuria, Nagorey, dan lain-lainnya, yang tersebar di seluruh Indonesia.[5]


2.2 Unsur-Unsur Pokok Desa
2.2.1 Wilayah
Desa yang diakui sebagai suatu satuan organisasi ketatanegaraan dalam suatu negara, sekalipun merupakan satuan terkecil, telah menjadi kenyataan sejak dahulu kala hingga sekarang.Salah satu unsur pokoknya ialah adanya wilayah dengan batas-batas tertentu yang cukup jelas. Dari catatan sejarah dapat diketahui bahwa sejak tumbuhnya desa-desa atau dengan nama lainnya di kepulauan Nusantara ini maka unsur wilayah (tanah tempat kehidupan bagi suatu Kesatuan Masyarakat Hukum) telah demikian besar nilainya hingga sering menimbulkan masalah besar dan pelik bila terjadi gangguan terhadap unsur yang satu ini.

Disebabkan nilainya yang demikian besar itu, sampai akhirnya unsur wilayah itu dijadikan asas utama bagi beberapa kesatuan masyarakat di Nusantara ini. Oleh karenanya wilayah suatu desa atau suatu kesatuan masyarakat hukum tidak dapat dipisahkan pengaturannya tanpa mengaitkannya dengan kepentingan-kepentingan atau kebutuhan yang hakiki dari kesatuan masyarakat hukum yang bersangkutan, yang dahulunya telah berjuang sedemikian rupa untuk dapat berada di wilayah tersebut, yang kemudian menjadi pemilik setidak-tidaknya menjadi penguasanya.[6] Suatu desa tidak mustahil dapat hapus eksistensinya bila tidak memiliki wilayah yang selaras dan serasi dengan kebutuhan hidup masyarakatnya.[7]


2.2.2 Penduduk
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.7 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Administrasi Penduduk di Desa dan Kelurahan, maka penduduk desa dan kelurahan secara administratif terdiri dari dua macam/kategori yaitu:
  1. Penduduk Tetap;
  2. Penduduk Sementara.

Yang dimaksud dengan Penduduk Tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 1 huruf b yaitu: Setiap orang, baik Warganegara Republik Indonesia maupun Orang Asing yang bertempat tinggal tetap di dalam wilayah Desa dan Kelurahan.

Selanjutnya yang dimaksud dengan Penduduk Sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 huruf c yaitu: Orang yang berdiam sementara dalam wilayah Desa atau Kelurahan untuk jangka waktu tidak lebih dari 100 hari.

Batasan atau pengertian tentang Penduduk Desa sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut menunjukkan bahwa unsur penduduk bagi suatu Desa atau Kelurahan merupakan unsur penting karena tidak mungkin terjadi pada zaman manapun suatu satuan organisasi ketatanegaraan dapat disebut Desa dengan penduduk yang tidak memenuhi persyaratan (terlampau sedikit, tidak tetap, tidak terikat oleh suatu tertib hukum atau ikatan batin).[8]

Dari seluruh uraian yang disajikan dalam bagian ini dapatlah disimpulkan bahwa unsur penduduk atau masyarakat bagi suatu desa adalah unsur yang mempunyai nilai paling besar dan menentukan eksistensi dan klasifikasi desa (berkembang, mundur atau hapus sama sekali).[9]


2.2.3 Pemerintahan
Menurut Penjelasan atas Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (Undang-Undang No.5 tahun 1979) pada “I. Umum” butir 7 bahwa yang dimaksud dengan Pemerintahan Desa adalah: Kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat.

Berdasarkan kepada butir 3 dari “I. Umum” Penjelasan atas Undang-Undang tersebut di atas, dapat diketahui secara tersirat bahwa Pemerintahan Desa dapat dikatakan memiliki kemampuan bilamana Pemerintahan Desa tersebut mampu menggerakkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan dan berkemampuan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin luas dan efektif.
Dengan demikian maka fungsi pemerintahan Desa adalah penyelenggara pemerintahan dan penggerak pembangunan.[10]

Bila disimpulkan, maka Pemerintah Desa adalah suatu badan dalam organisasi desa yang memiliki fungsi dan tugas pokok menyelenggarakan pemerintahan dengan dilengkapi oleh sistem administrasi dan management yang sudah ditetapkan oleh peraturan perudang-undangan (dahulu sekali oleh Hukum Adat) serta menggerakkan masyarakat desa untuk dapat berpartisipasi semaksimal mungkin dalam pembangunan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Dengan fungsi dan tugas pokok seperti itu, maka jelaslah bahwa pemerintah desa mempunyai peranan besar yang dapat meningkatkan taraf hidup Penduduk Desa dan menjadikan wilayah desa menjadi wilayah yang potensial dalam berbagai sektor pembangunan.[11]

Sedangkan pengertian Aparatur Pemerintah Daerah adalah keseluruhan dari badan-badan yang ada di bawah Presiden yang berada di daerah baik yang di bawah Lembaga Departemen maupun yang dibawah Lembaga Non Departemen yang melaksanakan roda pemerintahan di daerah.[12]

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[13]


2.2 Pemerintahan Desa Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2014, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[14]

Hal yang perlu di garis bawahi berdasarkan ketentuan di atas adalah desa berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri.

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No 6 Tahun 2014, Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[15]

Di dalam pemerintahan desa tidak hanya terdiri dari kepala desa beserta perangkat-perangkat lain di bawahnya, namun juga terdiri dari masyarakat setempat yang tergabung menjadi suatu kelompok yang disebut Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Hal tersebut agar tercipta asas check and balances yang mendukung demokrasi agar pemerintah desa tidak bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan jabatannya.

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.[16]

Hal di atas untuk memperkuat dan mempertegas penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pengaturan Desa berasaskan:
a. rekognisi; b. subsidiaritas; c. keberagaman; d. kebersamaan; e. kegotongroyongan; f. kekeluargaan; g. musyawarah; h. demokrasi; i. kemandirian; j. partisipasi; k. kesetaraan; l. pemberdayaan; dan m. keberlanjutan.[17]

Pengaturan Desa bertujuan:[18]
  1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
  3. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
  4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
  5. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  6. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
  7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
  8. Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
  9. Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

Local Government atau Pemerintah Lokal atau Pemerintah Daerah tidak mempunyai undang-undang dasar tersendiri. Segala sesuatunya yang menyangkut penyelenggaraan pemerintah diatur oleh atas kuasa pemerintah negara. Hal ini disebabkan oleh karena statusnya sebagai bagian negara.[19]

Hal tersebut untuk menghindari perpecahan dan untuk mendukung penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Desa telah lama ada di Indonesia dengan bermacam-macam nama dan bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan masyarakat setempat di berbagai wilayah Indonesia. Pada umumnya desa atau dengan nama lain tersebut dipimpin oleh kepala desa atau sebutan lain dengan dibantu oleh beberapa perangkat desa.
Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri.


3.2 Saran
Saran dari penyusun antara lain :
  1. Desa perlu mendapat perhatian dari Pemerintahan Indonesia dan masyarakat karena mempunyai peranan yang strategis untuk kemajuan negara.
  2. Nilai-nilai tradisional yang hidup di desa harus tetap dipegang teguh karena pada umumnya akan berdampak baik bagi desa yang bersangkutan.


DAFTAR PUSTAKA
  • Situmorang, V. M. dan Sitanggang, C. 1994. Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah. Jakarta: Sinar Grafika.
  • Sunardjo, RH. U. 1984. Tinjauan Sepintas tentang: Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Bandung: Tarsito.
  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa;
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa;


[1] R.H. Unang Sunardjo. 1984. Tinjauan Sepintas tentang: Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Hal. 9-12.
[2] R.H. Unang Sunardjo. Op Cit. Hal. 14.
[3] R.H. Unang Sunardjo. Op Cit. Hal. 16.
[4] R.H. Unang Sunardjo. Op Cit. Hal. 18.
[5] R.H. Unang Sunardjo. Op Cit. Hal. 18-19.
[6] R.H. Unang Sunardjo. Op Cit. Hal. 21.
[7] R.H. Unang Sunardjo. Op Cit. Hal. 27.
[8] Ibid.
[9] R.H. Unang Sunardjo. Op Cit. Hal 36.
[10] R.H. Unang Sunardjo. Op Cit. Hal 37.
[11] R.H. Unang Sunardjo. Op Cit. Hal. 48.
[12] Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang. 1994. Hukum Administrasi Pemerintahan Di Daerah. Hal. 113.
[13] UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 angka 2.
[14] UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa.
[15] Ibid.
[16] UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa. Pasal 2.
[17] UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa. Pasal 3.
[18] UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa. Pasal 4.
[19] Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang. Op Cit. Hal. 20.

4 komentar: