Rabu, 03 Februari 2016

Perkembangan Sikap Manusia Terhadap Lingkungan

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Lingkungan memiliki peranan yang sangat penting di dalam kehidupan manusia. Manusia hanya bisa mempertahankan kehidupannya apabila lingkungan hidup di sekitarnya juga mendukungnya. Untuk itu diperlukan suatu aturan yang mengatur lingkungan hidup agar fungsinya tetap terjaga yang disebut Hukum Lingkungan. Hukum lingkungan pada dasarnya telah ada di tengah-tengah kehidupan manusia sejak dulu, terutama dalam bentuk yang tidak tertulis.

Di dalam perkembangannya, perilaku manusia terhadap ligkungan juga berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan zaman. Hal tersebut pada umumnya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang bersangkutan dan juga teknologi yang sudah mereka gunakan. Perkembangan sikap manusia terhadap lingkungan  tersebut cukup menarik untuk dibahas, untuk itu penyusun akan mencoba membahasnya melalui makalah ini.


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah yang akan diangkat oleh penyusun adalah : Bagaimanakah perkembangan sikap manusia terhadap lingkungan?


1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui perkembangan sikap manusia terhadap lingkungan.


BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Zaman Awal
Pada awalnya manusia tertarik pada ekologi karena hal-hal praktis, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pengetahuan tentang lingkungan, tumbuhan, binatang, air, sungai, dan lain-lain diperoleh secara alami, karena manusia merupakan ciptaan paling akhir, setelah Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Artinya manusia dapat memanfaatkan semua itu untuk kebutuhan hidupnya.

Awal peradaban dimulai ketika manusia mulai mempelajari cara menggunakan apa yang ada di sekelilingnya, bagaimana membuat api untuk memasak, atau menutupi tubuhnya agar terhindar dari panas dan dingin dan sebagainya. Untuk itu manusia memerlukan pengetahuan untuk mengubah lingkungan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada zaman itu, manusia memandang alam sekitarnya sebagai sesuatu yang sakral yang harus dijaga agar tidak menimbulkan bencana. Manusia, sebagai makhluk hidup berhubungan langsung dalam memanfaatkan sumber daya alam. Terhadap nilai-nilai yang mengajarkan cara menjaga keserasian hidup dengan lingkungan alam. Saat itu jumlah penduduk memang sangat sedikit. Mereka menebang pohon, membuka lahan untuk berkebun, berburu satwa untuk dikonsumsi sebatas kebutuhan mereka sendiri. Skalanya masih kecil, sehingga keseimbangan alam alam belum terganggu. Daya dukung lingkungan masih lebih tinggi dibanding kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Manusia merasa bahwa mereka merupakan bagian dari alam. Mereka tidak/belum mengeksploitasi alam.  Tahapan ini dikenal sebagai zaman primitif atau era hunting and gathering/ pemburu dan pengumpul. (Sudharto P. Hadi, Manusia dan Lingkungan, 2000:13-20).

Tahap kedua, manusia mulai menggunakan teknologi untuk meningkatkan daya adaptasinya terhadap lingkugan alam. Manusia mulai mengendalikan alam, dan mulai menimbulkan dampak lokal dan regional. Pada era ini pertumbuhan manusia semakin tinggi. Makin besar populasi, makin besar pula kebutuhan, bahkan sekundernya yang harus dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan  yang semakin kompleks itu, manusia mengubah orientasi dan cara mendayagunakan alam. Keseimbangan alam –Interaksi antara manusia, organisme lain dengan lingkungannya- mulai terganggu.[1]

Jutaan tahun yang lalu manusia hidup tanpa perlu khawatir akan terjadinya gangguan atau bahaya oleh pencemaran udara, pencemaran air atau pencemaran lingkungan yang dipermasalahkan sekarang sebab manusia percaya dan yakin akan kemampuan sistem alam untuk menanggulanginya secara alamiah (life sustaining system).[2]

Peraturan-peraturan yang orientasinya menyangkut lingkungan, baik disadari atau tidak sebenarnya telah hadir di masa abad sebelum Masehi, misalnya di dalam Code of Hammurabi yang ada di dalamnya terdapat salah satu klausul yang menyebutkan bahwa “sanksi pidana dikenakan kepada seseorang apabila ia membangun rumah dengan gegabahnya sehingga runtuh dan menyebabkan lingkungan sekitar terganggu”. Demikian pula di abad ke 1 pada masa kejayaan Romawi telah dikemukakan adanya aturan tentang jembatan air (aqueducts) yang merupakan bukti adanya ketentuan teknik sanitasi dan perlindungan terhadap lingkungan.

Di Indonesia sendiri, organisasi yang berhubungan dengan lingkungan hidup sudah dikenal lebih dari sepuluh abad yang lalu. Dari prasasti Juruna tahun 876 Masehi diketahui ada jabatan ”Tuhalas” yakni pejabat yang mengawasi hutan atau alas, yang kira-kira identik dengan jabatan petugas Perlindungan Hutan Pelestarian Alam (PHPA). Kemudian prasasti Haliwangbang pada tahun 877 Masehi menyebutkan adanya jabatan ”Tuhaburu” yakni pejabat yang mengawasi masalah perburuan hewan di hutan. Contoh lain adalah pengendalian pencemaran yang ditimbulkan oleh pertukangan logam; kegiatan membuat logam, yang sudah tentu menimbulkan pencemaran dikenai pajak oleh petugas yang disebut ”Tuhagusali”.3
Meskipun pada zaman awal manusia sudah memnfaatkan dan mengeksploitasi lingkungan (alam), namun tidak memberikan dampak yang signifikan karena jumlah populasi manusia masih kecil sehingga daya dukung alam masih mampu mengatasinya.


2.2 Zaman Modern
Bahkan pada tahap awal dari industrialisasi pun pada saat gumpalan asap mulai mengotori udara , air limbah mengotori air (sungai dan laut) dan sampah-sampah dibuang ke atas tanah yang subur, orang masih percaya pada kemampuan udara untuk membersihkan sendiri, air (sungai maupun laut) dapat mengencerkan benda-benda asing itu secara alamiah tanpa perlu khawatir akan bahayanya. Meskipun terdapat pengaturan hukum hukum terhadap masalah gangguan pada kesehatan pada revolusi industri, misalnya di Inggris pada zaman Raja Henry VII pada abad ke-18, umumnya kekhawatiran itu masih dalam taraf keyakinan bahwa alam mempunyai ketidakterbatasan daya serap dan proses alam sendiri mampu mengolah setiap benda asing yang dibuang ke lingkungan (alam).

Demikian pula halnya dengan manusia yang hidup di planet bumi, mereka mempunyai daya penyesuaian diri atas perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan pada setiap waktu, tempat dan keadaan tertentu secara evolusi atas dasar terapan ilmu dan teknologi ciptaannya sendiri.
Penyesuaian diri manusia terhadap perubahan-perubahan alam di sekitarnya terlihat, antara lain melalui proses budaya yang lama misalnya kemampuan manusia untuk menciptakan teknologi untuk melindungi dirinya dari pengaruh alam yang buruk, bahkan manusia memperlihatkan kempuannnya terbang ke angkasa luar (astronaut), menyelam jauh ke dasar laut (aquanaut) dan kegiatan-kegiatan lain tanpa mengubah sifat-sifat biologinya.

Betulkah manusia mampu menguasai alam secara demikian? Jawabannya mulai dipersoalkan setelah Perang Dunia II, pada saat manusia mulai membangun kembali teknologinya untuk memerangi kemiskinan setelah perang.

Setelah berlangsungnya sekade pembangunan PBB I (1960-1970), manusia mulai sadar bahwa ia tidak pernah menaklukkan alam. Anggapan manusia akan kebebasannya dari alam lingkungannya mulai pudar dan ternyata suatu khayalan belaka. Ketergantungan pada alam atau lebih tepat dikatakan kesalingtergantungan manusia dengan lingkungannya untuk memperoleh keseimbangan, keserasian dan keselarasan hidupnya dengan lingkungan ternyata dikuasai oleh hukum-hukum ekologi. (Barry Commoner; 1969)

Lebih jauh daripada itu, masalah lingkungan dengan manifestasinya yang paling menonjol mengenai masalah pencemaran seperti pencemaran udara dan air di negara-negara industri, pencemaran lingkungan karena kemiskinan dan negara-negara yang sedang berkembang mulai dipersoalkan. Bagi negara-negara berkembang, hal tersebut ditambah lagi dengan tekanan penduduk, keterbatasan sumber daya alam yang tersedia dan akibat sampingan dari penggunaan sumber daya alamnya, pemborosan yang terus berlangsung. Pencemaran oleh industri yang bersifat toksis, akibat atau kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible) serta kerusakan ekologis yang luas dapat mengancam ekosistem bumi sebagai sistem pendukung kehidupan planet bumi.

Pertumbuhan kesadaran hukum lingkungan klasik menghebat bermula pada abad ke-18 di Inggris dengan kemunculan kerajaan mesin, dimana pekerjaan tangan dicaplok oleh mekanisasi yang ditandai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Dengan demikian terbukalah jaman tersebarnya perusahaan-perusahaan besar dan meluapnya industrialisasi yang dinamakan ”revolusi industri”. Dengan kepentingan untuk menopang laju pertumbuhan industri di negara-negara dunia pertama atau negara-negara yang telah maju indstrinya, sementara persediaan sumber daya alam di negara-negara dunia pertama semakin terbatas maka diadakanlah penaklukan dan pengerukan sumberdaya alam di negara-negara dunia ketiga (Asia-Afrika). Pada masa itu negara-negara yang telah mengalami proses industrialisasi telah banyak diadakan peraturan yang ditujukan kepada antisipasi terhadap dikeluarkannya asap yang berlebihan baik dalam perundang-undangan maupun berdasarkan keputusan-keputusan hakim. Selain itu dengan adanya penemuan-penemuan baru dalam bidang medis, telah dikeluarkan pula peraturan-peraturan tentang bagaimana memperkuat pengawasan terhadap epidemi untuk mencegah menjalarnya penyakit dikota-kota yang mulai berkembang dengan pesat.

Namun demikian, sebagian besar dari hukum lingkungan klasik, baik berdasarkan perundang-undangan maupun berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berkembang sebelum abad ke-20, tidaklah ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara menyeluruh, akan tetapi hanyalah untuk berbagai aspek yang menjangkau ruang lingkup yang sempit.

Ketika diadakan penaklukan terhadap negara-negara Asia-Afrika, turut pulau di dalamnya negara Belanda yang menaklukkan Nusantara dan untuk pengaturan mengenai lingkungan diadakan ordonansi gangguan, yakni HO (Hinder Ordonantie) Staatblad 1926:26 jo. Stbl 1940:450 dan Undang-Undang tentang perlindungan Lindungan yakni Natuur Beschesrming Stbl 1941:167.
Pada tahun 1962, terdapat peringatan yang menggemparkan dunia yakni peringatan ”Rachel Carson” tentang bahaya penggunaan insektisida. Peringatan inilah yang merupakan pemikiran pertama kali yang menyadarkan manusia mengenai lingkungan.

Seiring dengan pembaharuan, perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan dunia internasional untuk memberikan perhatian lebih besar terhadap lingkungan hidup. Hal ini mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia.

Gerakan sedunia ini dapat disimpulkan sebagai suatu peristiwa yang menimpa diri seorang sehingga menimbulkan resultante atau berbagai pengaruh di sekitarnya. Begitu banyak pengaruh yang mendorong manusia kedalam suatu kondisi tertentu, sehingga adalah wajar jika manusia tersebut kemudian juga berusaha untuk mengerti apakah sebenarnya yang mempengaruhi dirinya dan sampai berapa besarkah pengaruh-pengaruh tersebut. Inilah dinamakan ekologi.

Di kalangan PBB perhatian terhadap masalah lingkungan hidup ini dimulai di kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial atau lebih dikenal dengan nama ECOSOC PBB pada waktu diadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan dasawarsa pembangunan dunia ke-1 tahun 1960-1970. pembicaraan tentang masalah lingkungan hidup ini diajukan delegasi Swedia pada tanggal 28 Mei 1968, disertai saran untuk dijajakinya kemungkinan penyelenggaraan suatu konferensi internasional. Kemudian pada gerakan konferensi PBB tentang ”Lingkungan Hidup Manusia” di Stockholm.

Dalam rangka persiapan menghadapi Konferensi Lingkungan Hidup PBB tersebut, Indonesia harus menyiapkan laporan nasional sebagai langkah awal. Untuk itu diadakan seminar lingkungan pertama yang bertema ”Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan Pembangunan Nasional” di Universitas Padjadjaran Bandung. Dalam seminar tersebut disampaikan makalah tentang ”pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia: Beberapa Pikiran dan Saran” oleh Moctar Kusumaatmadja, makalah tersebut merupakan pengarahan pengarahan pertama mengenai perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Mengutip pernyataan Moenadjat, tidak berlebihan apabila mengatakan bahwa Moctar Kusumaatmadja sebagai peletak batu pertama Hukum Lingkungan Indonesia.

Konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia akhirnya diadakan di Stockholm tanggal 5-16 juni 1972 sebagai awal kebangkitan modern yang ditandai perkembangan berarti bersifat menyeluruh dan menjalar ke berbagai pelosok dunia dalam bidang lingkungan hidup. Konferensi itu dihadiri oleh 113 negara dan beberapa puluh peninjau serta telah menghasilkan telah menghasilkan Deklarasi Stockholm yang berisi 24 prinsip lingkungan hidup dan 109 rekomendasi rencana aksi lingkungan hidup manusia hingga dalam suatu resolusi khusus, konferensi menetapkan tangga 5 juni sebagai hari lingkungan hidup sedunia.
Dalam rangka membentuk aparatur dalam bidang lingkungan hidup, maka berdasarkan Keppres No 28 Tahun 1978 yang kemudian disempurnakan dengan Keppres No 35 Tahun 1978, terbentuklah Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) dan sebagai Menteri Negara PPLH telah diangkat Emil Salim.

Kemajuan lebih lanjut dari kinerja Kementrian Negara PPLH ditandai dengan diterbitkannya peraturan perundangan bidang lingkungan hidup yang pertama di Indonesia, yaitu UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pada tahun yang sama atau sepuluh tahun setelah Deklarasi Stockholm, Deklarasi Noirobi mengungkapkan bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi mengenai keadaan lingkungan di dunia.

Menjelang Deklarasi Nairobi, pada tanggal 7-8 September 1981 di generasi diadakan sidang negara-negara berkembang yang telah merumuskan 3 (tiga) konsep dasar, antara lain mengenai perlunya negara-negara berkembang menyerasikan pertimbangan pembangunan dengan kepentingan lingkungan melalui penerapan tata pendekatan terpadu dan terkoordinasi pada semua tingkat, terutama penerapan tata pendekatan terpadu dan terkoordinasi pada semua tingkat, terutama pada permulaan perundang-undangan lingkungan dan penerapanya.[4]

Konferensi Stockholm menghasilkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. a. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, yang terdiri atas preambul dan 26 azas yang disebut “Stockholm Declaration”;
  2. Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (action plan) yang terdiri atas 109 rekomendasi, termasuk di dalamnya 18 rekomendasi tentang Perencanaan dan Pengelolaan Pemukiman Manusia;
  3. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan rencana aksi tersebut di atas, yang terdiri dari: dewan pengurus (governing council) program lingkungan hidup (UN Environment Programme=UNEP), sekretariat yang dikepalai seorang direktur eksekutif, dana lingkungan hidup, badan koordinasi lingkungan hidup.

Konverensi Stockholm telah memberi kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan hukum lingkungan. Juga menjadi awal dari tumbuhnya kesatuan pandangan di antara negara-negara peserta untuk menggunakan Stockholm Declaration sebagai referensi bersama.[5]

Pentingnya deklarasi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-negara yang terlibat dalam konferensi ini dapat dilihat dari penilaian negara peserta yang mengatakan bahwa deklarasi dianggap sebagai a first step in developing international environmental law.*)[6]

Kesadaran global/ Internasional akan lingkungan hidup sebagai bentuknya yaitu diperingatinya Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni. Peringatan ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran dan kepedulian manusia dan masyarakat pada lingkungan hidup yang cenderung semakin rusak. Hari Lingkungan Hidup Sedunia pertama kali dicetuskan pada tahun 1972 sebagai rangkaian kegiatan lingkungan dari dua tahun sebelumnya ketika seorang senator Amerika Serikat, Gaylord Nelson menyaksikan betapa kotor dan tercemarnya bumi oleh ulah manusia. Selanjutnya, ia mengambil prakarsa bersama LSM untuk mencurahkan satu hari bagi usaha penyelamatan bumi dari kerusakan. Dari Konferensi PBB mengenai lingkungan hidup yang diselenggarakan pada tanggal 5 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. Tanggal 5 Juni tersebut di tetapkan sebagai hari Lingkungan Hidup Sedunia.Warga atau masyarakat dapat berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kesempatan berperan serta itu dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut:

  1. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan.
  2. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat.
  3. Menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial.
  4. Memberikan saran dan pendapat.
  5. Menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.

Hasil konferensi ini lazim disebut dengan Stockholm declaration, yang melahirkan 26 prinsip/asas dimana Prinsip I Deklarasi Stockholm 1972 : di katakan “Setiap manusia memiliki hak fundamental atas lingkungan yang sehat dan layak bagi kehidupan”dan “Setiap manusia bertanggung jawab untuk melindungi lingkungan demi kepentingan generasi kini dan mendatang”. Namun demikian hasil konferensi Stockholm tidak efektif karena kerusakan lingkugan masih terus terjadi baik di Negara maju maupun dunia ketiga, hal ini membuat keprihatinan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemudian membentuk apa yang dinamakan dengan World Commission on Environment and Development yang pada akhirnya melahirkan beberapa konsep salah satunya adalah Sustaineble Development dimana dikatakan berbagai pengembangan sektoral, seperti : pertanian, kehutanan, industri, energi, perikanan, investasi, perdagangan, bantuan ekonomi, memerlukan sumber daya alam yang harus dilestarikan kemampuannya untuk menunjang proses pembangunan secara berkelanjutan.

Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menerjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.

Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila Negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden RusiaVladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat mencapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih efisien.

Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.

Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem dimana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan.Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.

Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim). Ia dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997, dibuka untuk penandatanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata – rata cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050. (sumber: Nature, Oktober 2003)

Kita tak hendak melihat kesadaran nasional Negara tetangga kita akan tetapi kita lihat pengaturan mengenai pengaturan lingkungan hidup Indonesia; Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) telah menandai awal pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integral dari upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa sejak diundangkannya Undang-undang tersebut, kesadaran lingkungan hidup masyarakat telah meningkat dengan pesat, yang ditandai antara lain oleh makin banyaknya ragam organisasi masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup selain lembaga swadaya masyarakat. Terlihat pula peningkatan kepeloporan masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup sehingga masyarakat tidak hanya sekedar berperan serta, tetapi juga mampu berperan secara nyata. Sementara itu, permasalahan hukum lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain, perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan makin mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia. Dalam mencermati perkembangan keadaan tersebut, dipandang perlu untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.[7]

Pola perkembangan sikap manusia terhadap alam dan lingkungan adalah sebagi berikut:[8]

  1. Manusia memperlakukan alam secara berlebihan dengan meyembah dan memujanya;
  2. Manusia memanfaatkan alam dan tergantung padanya;
  3. Manusia menguras dan menggerogoti alam dan lingkungannya;
  4. Manusia merasa ditinggalkan oleh alam dan oleh sebab itu merasa membutuhkan;
  5. Akhirnya manusia sadar bahwa alam harus dirawat dan didekati sebagai lingkungan hidup yang menentukan hidupnya.

Dapat dilihat jika sikap manusia terhadap lingkungan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti faktor ekonomi yang memiliki andil cukup besar. Kemauan negara-negara di dunia untuk melakukan upaya perlindungan lingkungan terutama di negara industri juga mempunyai peran disini.


BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam perkembangannya sikap manusia terhadap lingkungan berubah-ubah dan dinamis. Pada saat ini manusia sudah mulai sadar akan pentingnya perlindungan lingkungan hidup untuk tetap menjaga kelangsungan hidup manusia. Sudah sepantasnya manusia sadar alam dan lingkungan perlu dilindungi karena manusia tidak akan dapat hidup tanpanya. Jika lingkungan rusak, maka akan menimbulkan kerugian baik nyawa maupun harta kepada manusia itu sendiri.


3.2 Saran
Sebagai makhluk hidup yang berakal dan paling berpengaruh di dunia, manusia harus dapat menjaga kelangsungan alam dan lingkungan hidup. Setiap pihak baik di Indonesia maupun di tingkat internasional harus lebih meningkatkan upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

  • Silalahi, D. 1992. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni.
  • Siombo, M. R. 2012. Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia (Dilengkapi dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.


Internet



Catatan

  • Catatan mata kuliah Hukum Lingkungan



[1]  Marhaeni Ria Siombo. Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Hal 1-2.
[2]  Daud Silalahi. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Hal 5-6.
[3] Achmad Reza. Hukum Lingkungan. http://sospol.pendidikanriau.com/2010/03/hukum-lingkungan.html. Diakses pada 1 Mei 2014.
[4] Ibid.
[5] Marhaeni Ria Siombo. Op Cit. Hal 17-18.
[6] Daud Silalahi. Op Cit. Hal 20.
[7] La Zaudi. Kesadaran Lingkungan Hidup secara Nasional dan Global. http://lajaudi.blogspot.com/2013/10/kesadaran-lingkungan-hidup-secara.html. Diakses pada 1 Mei 2014.
[8] Catatan mata kuliah Hukum Lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar