Sabtu, 06 Februari 2016

Wilayah Negara dalam Hukum Internasional

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933, bahwa salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh suatu negara adalah adanya wilayah yang tetap (a permanent territory) yang merupakan unsur mutlak yang harus ada. Wilayah adalah suatu ruang sebagai tempat bagi orang menjadi warga negara atau penduduk untuk dapat hidup dan menjalankan aktifitasnya. Dalam sejarah kehidupan umat manusia atau negara-negara, kadang-kadang bisa muncul konflik yang disebabkan oleh masalah wilayah. Konflik ini antara lain bisa disebabkan karena keinginan untuk melakukan ekspansi wilayah atau karena memang tidak jelasnya garis batas wilayah antara dua atau lebih negara. Akan tetapi, dengan semakin meningkatnya penghormatan atas
kedaulatan teritorial negara-negara, terutama setelah Perang Dunia II, kini usaha untuk melakukan ekspansi wilayah semakin berkurang, bahkan dapat dikatakan sudah tidak ada lagi.[1]

Sebagai salah satu permasalahan penting di dalam hukum internasional, terdapat ketentuan-ketentuan hukum internasional terkait wilayah negara. Untuk itu penyusun akan membahas tentang wilayah negara dalam hukum internasional.


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah yang akan diangkat oleh penyusun adalah: Bagaimanakah wilayah negara dalam hukum internasional?


1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah: untuk mengetahui wilayah negara dalam hukum internasional.


BAB 2. PEMBAHASAN
Hukum internasional adalah merupakan keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara. Dengan demikian hukum internasional tidak dapat dipisahkan dari adanya negara-negara. Sebaliknya, suatu negara hanya dapat berfungsi berdasarkan kedaulatan yang dimilikinya, yang secara internal diwujudkan dalam bentuk supremasi dari lembaga-lembaga pemerintahan dan secara eksternal dalam bentuk supremasi negara sebagai sebagai subjek hukum internasional.[2] Dalam pada itu, konsep dasar dari ruang berlakunya kedaulatan sebagai kekuasaan sebagai kekuasaan tertinggi negara dibatasi oleh wilayah negara itu, sehingga negara memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya. Menurut Oppenheim tanpa adanya wilayah wilayah dengan batas-batas tertentu suatu negara tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional.[3] Pengertian negara disini tidak dapat dipisahkan dari konsep dasar negara sebagai suatu kesatuan geografis disertai dengan kedaulatan dan yurisdiksinya masing-masing. Dengan demikian, wilayah negara menjadi konsep yang paling mendasar (fundamental) dalam hukum internasional, untuk menunjukkan adanya kekuasaan tertinggi dan eksklusif negara dalam batas-batas wilayahnya.[4]

Peranan penting dari wilayah negara dalam hukum internasional tercermin dalam prinsip penghormatan terhadap integritas kewilayahan (territorial integrity) yang dimuat dalam pelbagai instrumen internasional, misalnya dalam bentuk larangan untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah internal dari suatu negara. Meskipun demikian, sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan ekonomi dewasa ini, dalam hubungan antar negara tampak adanya kecenderungan untuk mengurangi peran eksklusif dari wilayah negara, khususnya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination). Namun, hingga saat ini kedaulatan teritorial tetap merupakan suatu konsep penting dalam hukum  internasional yang telah melahirkan berbagai ketentuan hukum tentang perolehan dan hilangnya wilayah negara.

Esensi dari kedaulatan teritorial terletak pada kondisi faktual maupun legal sehingga suatu wilayah dapat dianggap berada dibawah kedaulatan suatu negara tertentu. Dengan demikian, dalam suatu sengketa antara dua negara yang berkaitan kepemilikan terhadap suatu wilayah, yang akan dijadikan bahan pertimbangan oleh mahkamah adalah argumentasi hukum dari salah satu pihak yang dianggap paling kuat.[5]


2.1 Pengertian Wilayah Negara
Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau menjadi teritorial dari sebuah kedaulatan. Pada masa lampau, seringkali sebuah wilayah dikelilingi oleh batas-batas kondisi fisik alam, misalnya sungai, gunung, atau laut. Sedangkan setelah masa kolonialisme, batas-batas tersebut dibuat oleh negara yang menduduki daerah tersebut, dan berikutnya dengan adanya negara bangsa, istilah yang lebih umum digunakan adalah batas nasional. Wilayah dalam sebuah negara bisa dibatasi oleh lautan dan/atau daratan. Wilayah negara itu bisa diperbatas juga oleh tembok atau pagar yang dibangun untuk menambah keamanan.[6]

Menurut I Wayan Parthiana, wilayah adalah merupakan suatu ruang dimana orang yang menjadi warga negara atau penduduk negara bersangkutan hidup serta menjalankan segala aktivitasnya.[7] Pengertian wilayah menurut Rebecca M.Wallace adalah merupakan atribut yang nyata dari kenegaraan dan dalam wilayah geografis tertentu yang ditempatnya, suatu negara menikmati dan melaksanakan kedaulatan.[8]

Dalam Ensiklopedia Umum, yang dimaksud dengan wilayah negara adalah bagian muka bumi daerah tempat tinggal, tempat hidup dan sumber hidup warga negara dari negara tersebut. Wilayah negara terdiri tanah, air (sungai dan laut) dan udara. Pada dasarnya semua sungai dan danau dibagian wilayah tanahnya termasuk wilayah negara.

 Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa wilayah nasional adalah seluruh wilayah NKRI yang meliputi daratan, lautan dan udara. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara mendefinisikan wilayah negara sebagai salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah negara adalah tempat tinggal, tempat hidup dan sumber kehidupan warga negara yang meliputi daratan, lautan dan ruang udara, dimana suatu negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah negaranya.[9]


2.2 Ruang Lingkup Wilayah Negara
Seperti disimpulkan Yasidi Hambali, jelaslah prinsip yang mengatakan bahwa yang dinamakan wilayah (teritory) dari suatu negara itu terdiri dari tiga dimensi, yaitu wilayah daratan (land teritory), wilayah perairan (water teritory) dan wilayah udara (air teritory).[10]

I Wayan Parthiana menyatakan bagian-bagian wilayah negara itu meliputi:[11]
1. Wilayah daratan termasuk tanah didalamnya
Wilayah daratan adalah bagian dari daratan yang merupakan tempat pemukiman atau kediaman dari warga negara atau penduduk negara yang bersangkutan. Termasuk pula dalam ruang lingkup wilayah daratan ini tidak saja permukaan tanah daratan, tetapi juga tanah di bawah daratan tersebut.


2. Wilayah perairan
Wilayah perairan atau disebut juga perairan teritorial adalah bagian perairan yang merupakan wilayah suatu negara. Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara jo. Pasal 1 ayat 4 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa:
“Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya”. Dalam salah satu makalahnya, Hasjim Djalal meyebutkan yang termasuk ke dalam laut yang merupakan kewilayahan dan yang berada di bawah kedaulatan Indonesia adalah : (a) Perairan Pedalaman, (b) Perairan Kepulauan (Nusantara), (c) Laut Teritorial atau Laut Wilayah di luar Perairan Nusantara tersebut.


3. Wilayah dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak dibawah wilayah perairan
Wilayah negara meliputi juga dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di bawah wilayah perairan, berarti negara memiliki kedaulatan terhadap dasar laut dan tanah di bawahnya, segala sumber daya alam yang terkandung di dalamnya adalah menjadi hak dan kedaulatan sepenuhnya dari negara yang bersangkutan.


4. Wilayah ruang udara
Ruang udara yang merupakan bagian wilayah negara adalah ruang udara yang terletak di atas permukaan wilayah daratan dan di atas permukaan wilayah perairan.[12]


2.3 Perbatasan Wilayah Negara
Batas merupakan pemisah unit regional geografi (fisik, sosial, budaya) yang dikuasai oleh suatu negara. Secara politis, batas negara adalah garis kedaulatan yang terdiri dari daratan, lautan dan termasuk potensi yang berada di perut bumi.[13] Dalam bahasa Inggris perbatasan sering disebut dengan kata border, boundary atau frontier.

Perbatasan merupakan salah satu manifestasi penting dalam suatu negara dan bukan hanya suatu garis imajiner di atas permukaan bumi, melainkan suatu garis yang memisahkan satu daerah dengan daerah lainnya.[14]

Dalam kaitan dengan kajian terhadap batas wilayah negara, tidak dapat lepas dari aspek pengaruh aktivitas penyelenggaraan pemerintahan negara terhadap kehidupan masyarakat di sepanjang kawasan perbatasan. Martinez (1994) mengklasifikasikan kawasan perbatasan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:[15]
  1. Alienated Borderland
  2. Coexistent Borderland
  3. Interdependent Borderland
  4. Integrated Borderland

Batas wilayah suatu negara menurut hukum internasional dapat ditentukan melalui:
  1. Perjanjian dengan negara yang berbatasan;
  2. Keadaan alam.

Daerah atau wilayah adalah tempat berlakunya susunan kekuasaan negara, dimana batas-batas daerah negara ini ditentukan dengan perjanjian. Perjanjian dengan negara-negara tetangganya baik perjanjian yang tertulis maupun yang tidak tertulis.[16]


2.4 Kedaulatan dan Tanggung Jawab Negara atas Wilayah
Kedaulatan yang dimiliki oleh negara terkandung hal-hal yang berhubungan dengan kedaulatan dan tanggung jawab negara terhadap wilayahnya. Wilayah negara merupakan tempat di mana negara menyelenggarakan yurisdiksinya atas masyarakat, segala kebendaan serta segala kegiatan yang terjadi di dalam wilayah. Kedaulatan negara seperti ini disebut  juga dengan kedaulatan teritorial. Kedaulatan teritorial akan berakhir pada batas-batas terluar wilayah territorial negara bersangkutan, dan karena yurisdiksi territorial suatu negara akan meliputi perairan territorial, maka pada hakekatnya batas terluar wilayah negara. adalah batas terluar laut teritorial.[17]

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar dalam bukunya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kedaulatan atas wilayah adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara untuk melaksanakan kewenangannya sebatas dalam wilayah-wilayah yang telah menjadi bagian dari kekuasaannya.[18]


2.5 Wilayah dan Yurisdiksi Negara di Laut
Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi negara di laut secara komprehensif mulai dilakukan oleh empat konvensi-konvensi Jenewa tahun 1958 yang mengatur tentang laut territorial dan zona tambahan, perikanan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas, landas kontinen dan laut lepas. Samapi dengan tahun sekitar 1970-an keempat konvensi tersebut masih dianggap cukup memadai untuk mengatur segala kegiatan manusia di laut. Tuntutan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap konvensi-konvensi tersebut muncul seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi penambangan di dasar laut, dan menurunnya persediaan sumberdaya hayati di laut. Di samping itu, pesatnya teknologi perkapalan juga merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan konvensi-konvensi itu dianggap sudah tidak memadai lagi. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah bertambahnya jumlah negara baru yang baru merdeka, sehingga menimbulkan tuntutan-tuntutan baru terhadap laut.

Setelah melaui perundingan yang cukup panjang negara-negara peserta Koferensi Hukum Laut PBB ke-3 pada akhirnya telah menyepakati Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982 yang terdiri dari 320 pasal dan 9 annex. Konvensi ini mengatur tentang segala aspek kegiatan di laut, seperti misalnya delimitasi, hak lintas, pencemaran terhadap lingkungan laut, riset ilmiah kelautan, kegiatan ekonomi dan perdagangan, alih teknologi dan penyelesaian sengketa tentang masalah-masalah kelautan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 308, konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994, yaitu 12 bulan setelah diterimanya ratifikasi ke-60
.
Konvensi Hukum Laut 1982 mengakui hak negara-negara untuk melakukan klaim atas pelbagai macam zona maritim dengan status hukum yang berbeda-beda, yang dibagi sebagai berikut:
  1. Berada di bawah kedaulatan penuh negara meliputi laut pedalaman, laut territorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;
  2. Negara mempunyai yursdiksi khusus dan terbatas yaitu zona tambahan;
  3. Negara mempunyai yurisdiksi eksklusif untuk memanfaatkan sumber daya alamnya, yaitu zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen;
  4. Berada di bawah suatu pengaturan internasional khusus, yaitu daerah dasar laut samudera dalam atau lebih dikenal dengan kawasan (internatinal sea­-bed area atau Area); dan
  5. Tidak berada dalam kedaultan maupun yurisdiksi negara manapun, yaitu laut lepas.[19]

Hasjim Djalal meyebutkan yang termasuk ke dalam laut yang merupakan kewilayahan dan yang berada di bawah kedaulatan Indonesia adalah:
  1. Perairan pedalaman;
  2. Laut teritorial;
  3. Zona tambahan;
  4. Landas kontingen;
  5. Zona ekonomi eksklusif.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (Bahasa Inggris: United Nations Convention on the Law of the Sea) disingkat (UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke 60 untuk menandatangani perjanjian. Untuk saat ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi.
Sedangkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi dan aksesi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara pihak Konvensi, PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Ada, bagaimanapun, peran yang dimainkan oleh organisasi-organisasi seperti Organisasi Maritim Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otoritas Dasar laut Internasional (yang terakhir yang didirikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa).[20]


2.6 Ruang Udara dan Ruang Angkasa
Sebagaimana diketahui menurut hukum internasional wilayah negara terdiri dari tiga matra yaitu darat, laut dan udara. Kalau wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah daratan, wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah negara di darat dan laut. Hal ini kemudian tercermin dalam Paris Convention for the Regulation of Aerial Navigation tahun 1919 yang mengakui kedaulatan penuh negara di ruang udara di atas wilayah daratan dan laut territorialnya. Pada awalnya kedaulatan negara tidak ditetapkan batas jaraknya secara vertikal (usque ad coelum). Namun, kemudian dibatasi dengan adanya pengaturan tentang ruang angkasa.

Secara teoritis dengan adanya kedaulatan negara di ruang udara di atas wilayahnya, setiap negara dapat melakukan larangan bagi negara-negara lain untuk terbang di atas wilayahnya, kecuali kalau telah diperjanjikan sebelumnya. Dewasa ini teori tersebut telah berubah dengan lahirnya perjanjian internasional yang mengatur penggunaan ruang udara dan lahirlah ketentuan-ketentuan umum yang mengatur antara lain tentang kebebasan penerbangan (freedom of overflight) dan hak lintas penerbangan (transit). Ketentuan-ketentuan tersebut menjadi bahan perundingan dalam Konferensi Chicago tentang Penerbangan Sipil Internasional (Chicago Conference on International Civil Aviotion) yang diselenggarakan pada tahun 1944 yang kemudian menghasilkan Chicago Convention on Inter-national Civil Aviation, yang telah mulai berlaku sejak tahun 1974. Konvensi ini tidak berlaku bagi pesawat udara negara misalnya pesawat udara miiter, bea cukai dan kepolisisan. Konferensi yang sama juga menghasilkan pembentukan organisasi penerbangan sipil ICAO (International Civil Aviation Organization).

Sama halnya dengan status hukum dari laut lepas, hukum internasional mengakui status hukum ruang angkasa sebagai res communis, sehingga tidak ada satu bagianpun dari ruang angkasa dapat dijadikan menjadi bagian wilayah kedaulatan negara. Hal ini tampak jelas dari berbagai resolusi Majelis Umum PBB yang dikeluarkan setelah terjadinya perkembangan teknologi ruang angkasa yang dimulai dengan peluncuran satelit bumi pertama oleh Uni Sovyet di tahun 1957. Resolusi Majelis Umum tahun 1962 (XVII) yang diterima pada tahun 1963, menetapkan beberapa asas hukum yang antara lain menetapkan bahwa penggunaan dan eksplorasi ruang angkasa serta benda angkasa (celestial bodies) dapat dilaksanakan oleh negara manapun secara adil dan sesuai dengan hukum internasional. Di samping itu, ruang angkasa dan benda angkasa tidak dapat dijadikan bagian dari wilayah atau tunduk kepada hukum negara manapun.

Lebih lanjut pengaturan ruang angkasa ditetapkan melalui penandatanganan Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outerspace, including the Moon and Other Celestial Bodies pada tahun 1967. Perjanjian internasional ini menguatkan asas-asas yang telah dikemukakan dalam resolusi Majelis Umum PBB tersebut di atas, tetapi tidak mengandung satu ketentuan pun yang menetapkan batas antara ruang udara dan ruang angkasa.[21]

Wilayah udara suatu negara adalah. ruang di atas wilayah daratan'wilayah laut pedalaman, laut teritorial wilayah laut negara kepulauan, Kedaulatan negara di ruang udara berdasarkan  adagium Romawi adalah sampai ketinggian tidak terbatas, Prinsip sampai ketinggian tidak terbatas ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi seiring dengan kemajuan teknologi seperti Peluncuran pesawat ruang angkasa,
Peluncuran pesawat ruang angkasa melintasi ruang udara suatu negara tidak pernah minta izin dari negara yang bersangkutan demikian pula penempatannya pada orbit tertentu, Namun demikian, sampai pada ketinggian berapa kedaulatan negara atas ruang udara belum ada kesepakatan,

Pengaturan ruang udara juga angkasa  aturan yang, relatif dibandingkan pengaturan internasional, Beda halnya dengan laut yang sudah berhasil dikuasai manusia sejak berabad-abad sebelumnya. Barulah sejak ditemukannya balon udara juga pesawat yang paling sederhana yang kemudian digunakan untuk melumpuhkan kekuatan musuh di era perang mulai terpikirkan untuk mengatur kedaulatan negara di ruang udara yang ternyata merupakan wilayah yang sangat penting dan strategis bagi suatu negara.[22]


BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Wilayah adalah sebuah daerah yang dikuasai atau menjadi teritorial dari sebuah kedaulatan. Pada masa lampau, seringkali sebuah wilayah dikelilingi oleh batas-batas kondisi fisik alam, misalnya sungai, gunung, atau laut. Sedangkan setelah masa kolonialisme, batas-batas tersebut dibuat oleh negara yang menduduki daerah tersebut, dan berikutnya dengan adanya negara bangsa, istilah yang lebih umum digunakan adalah batas nasional. Wilayah dalam sebuah negara bisa dibatasi oleh lautan dan/atau daratan. Wilayah negara itu bisa diperbatas juga oleh tembok atau pagar yang dibangun untuk menambah keamanan.

Ketentuan tentang wilayah negara di laut diatur terdapat dalam  Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (Bahasa Inggris: United Nations Convention on the Law of the Sea) disingkat (UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut yang untuk saat ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi.

Pada awalnya wilayah kedaulatan negara atas ruang udara dan ruang angkasa tidak ditetapkan batas jaraknya secara vertikal (usque ad coelum). Namun, kemudian dibatasi dengan adanya pengaturan tentang ruang angkasa. Resolusi Majelis Umum tahun 1962 (XVII) yang diterima pada tahun 1963, menetapkan beberapa asas hukum yang antara lain menetapkan bahwa penggunaan dan eksplorasi ruang angkasa serta benda angkasa (celestial bodies) dapat dilaksanakan oleh negara manapun secara adil dan sesuai dengan hukum internasional. Belum ada ketentuan definitif yang menetapkan batas antara ruang udara dan ruang angkasa.


3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penyusun antara lain:
  1. Setiap negara hendaknya saling menghormati batas wilayah negara lainnya sesuai dengan hukum internasional;
  2. Negara Indonesia hendaknya terus mempertahankan dan melindungi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena merupakan salah satu unsur pokok suatu negara.


DAFTAR PUSTAKA


[1]  S. M. Noor. 2012. Wilayah Negara. http://www.negarahukum.com/hukum/wilayah-negara.html.
[2] Malcolm N. Shaw dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. 2010. Pengantar Hukum Internasional. Halaman 161.
[3] Oppenheim dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Op. Cit. Halaman 161.
[4] O’Connell dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Op.Cit. Halaman 161-162.
[5]  Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Op.Cit. Halaman 162-163.
[6] Wilayah. http://id.wikipedia.org/wiki/Wilayah.
[7] I Wayan Parthiana dalam Guntur Faryzal. 2014. Wilayah Negara dalam Hukum Internasional. http://faryzal796016.blogspot.com/2014/05/wilayah-negara-dalam-hukum-international_17.html.
[8] Rebecca M. Wallace dalam Guntur Faryzal. Op. Cit.
[9] Meiniwan Halawa. Materi Perkuliahan Hukum Internasional 7. http://www.academia.edu/5160895/MATERI_PERKULIAHAN_HUKUM_INTERNASIONAL_7.
[10] Yasidi Hambali dalam Meinawan Halawa Op. Cit.
[11] I Wayan Parthiana dalam Meinawan Halawa. Op. Cit.
[12] Meinawan Hanawa. Op. Cit.
[13] Sri Hayati dan Ahmad Yani dalam Meinawan Halawa. Op. Cit.
[14] Starke J. G. dalam Meinawan Halawa. Op. Cit.
[15] Suryo Sakti Hadiwijoyo dalam Meinawan Halawa. Op. Cit.
[16]  Meranggidewa. 2011. Wilayah Negara dalam Hukum Internasional. https://dewanakbali.wordpress.com/2011/11/23/28/.
[17] Suryo Sakti Hadiwijoyo dalam Meinawan Halawa. Op. Cit.
[18] Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar dalam Meinawan Halawa. Op. Cit.
[19] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Op. Cit. Halaman 170-171.
[20]  Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. http://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Perserikatan_Bangsa-Bangsa_tentang_Hukum_Laut.
[21] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Op. Cit. Halaman 194-197.
[22]  Guntur Faryzal. Op. Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar