Rabu, 03 Februari 2016

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Usaha dalam Hukum Perlindungan Konsumen

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Setiap manusia pada dasarnya memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi di dalam hidupnya. Bidang ekonomi memiliki kaitan yang erat dalam hal ini. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menjadi pelaku usaha yang memproduksi suatu produk baik barang maupun jasa.

Dalam perkembangannya, muncul segelintir oknum pelaku usaha yang baik karena sengaja atau lalai dalam menjalankan usahanya sehingga menghasilkan produk atau jasa yang tidak baik sehingga merugikan konsumen. Bahkan banyak muncul di media-media segelintir oknum pelaku usaha yang sampai
membahayakan nyawa konsumen demi mengejar keuntungan yang lebih banyak. Kerugian konsumen
tersebut dapat berupa harta kekayaan atau bahkan terancam nyawanya.

Konsumen dalam hal ini memiliki hak-hak untuk dapat menikmati barang dan jasa dengan baik sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha. Hak-hak konsumen tersebut terkadang tidak diperhatikan dan tidak diberikan oleh segelintir oknum pelaku usaha. Untuk itu penyusun akan membahas tentang pertanggungjawaban pidana pelaku usaha dalam hukum perlindungan konsumen.


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah yang akan diangkat oleh penyusun antara lain:
  1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Perlindungan Konsumen?
  2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku usaha dalam hukum perlindungan konsumen?


1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini antara lain:
  1. Untuk memahami pengertian dari Hukum Perlindungan Konsumen;
  2. Untuk memahami pertanggungjawaban pidana pelaku usaha dalam hukum perlindungan konsumen.


BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Hukum Perlindungan Konsumen

2.1.1 Definisi
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.[1]

Berdasarkan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[2]

Perlindungan konsumen merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan adanya hukum yang memberikan perlidungan kepada konsumen dari kerugian atas penggunaan produk barang dan/atau jasa. Perlindungan konsumen memiliki cakupan yang sangat luas meliputi perlindungan terhadap segala kerugian akibat penggunaan barang dan/atau jasa. Meskipun perlindungan ini diperuntukkan bagi konsumen, namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak mendapat perhatian. Karena bagaimanapun, untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif, keberadaan pelaku usaha sebagai produsen barang dan/atau jasa juga harus mendapatkan perlakuan adil, dengan memposisikannya sebagai mitra konsumen dalam memenuhi kebutuhan sesuai hak dan kewajiban yang timbul dari suatu perikatan.[3]

Az Nasution (1995, 1999) membedakan rumusan hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Menurutnya hukum konsumen adalah:
“... keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.”

Sedangkan hukum perlindungan konsumen sebagai bagian khusus dari hukum konsumen, dirumuskan sebagai berikut:
“... keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.”[4]

Sidharta (2000) berpendapat lain mengenai istilah hukum perlindungan konsumen dan hukum konsumen, sebagimana dikutipkan berikut ini:
“... seyogyanya dikatakan, hukum konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita mengartikan “hukum”, termasuk juga  hukum diartikan sebagai asas dan norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya, misalnya, bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain”.[5]

Hukum konsumen adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak yang satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.[6] Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen.[7]

Hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lain, karena pada tiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat “konsumen”. Oleh karena itu, ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis undang-undang, seperti UUPK. Memahami perbedaan antara hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen, antara hak-hak pokok dari konsumen dan keterkaitan antara hukum perlindungan konsumen dengan bidang-bidang hukum yang lain dapat memberikan gambaran yang menyeluruh tentang hukum perlindungan konsumen. Berkaitan dengan pengertian tersebut dapat disimpulkan beberapa pokok pemikiran:[8]
  1. Hukum konsumen memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan hukum perlindungan konsumen;
  2. Subjek yang terlibat dalam perlindungan konsumen adalah masyarakat sebagai konsumen, dan di sisi lain pelaku usaha , atau pihak-pihak yang terkait, misalnya distributor, media cetak dan televisi, agen atau biro periklanan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan sebagainya;
  3. Objek yang diatur adalah barang, dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha/ produsen kepada konsumen;
  4. Ketidaksetaraan kedudukan konsumen dengan pelaku uasaha mengakibatkan pemerintah mengeluarkan kaidah-kaidah hukum yang dapat menjamin dan melindungi konsumen.

Meskipun hukum perlindungan konsumen pada dasarnya diadakan untuk melindungi kepentingan konsumen, namun di dalam peraturan perundang-undangan yaitu UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga dimuat hak-hak dan kewajiban pelaku usaha. Hal ini secara tidak langsung juga akan memajukan pelaku usaha khususnya Indonesia dalam kaitannya dengan persaingan global yang semakin terbuka.


2.1.2 Asas dan Tujuan
Untuk dapat menegakkan hukum perlindungan konsumen, perlu diberlakukan asas-asas yang berfungsi sebagai landasan penetapan hukum.[9] Berdasarkan Pasal 2 UU 8/1999 perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.[10]
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu:[11]
  1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
  2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
  3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
  4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
  5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.


2.1.3 Unsur-Unsur Perlindungan Konsumen
Hukum Perlindungan konsumen terbentuk dari pola hubungan antara beberapa unsur utama yang terkait di dalamnya. Hubungan tersebut tercipta dari suatu perikatan bisnis yang menimbulkan akibat hukum. Dalam hukum perlindungan konsumen, pengertian akibat hukum tidak hanya berhenti setelah terjadinya kesepakatan para pihak (ijab kabul), melainkan perlu ditindak lanjuti hingga pasca terjadinya kesepakatan tersebut. Artinya, meskipun perikatan bisnis telah dinyatakan selesai, namun pihak konsumen tetap berhak mendapatkan perlindungan hukum atas penggunaan barang dan/atau jasa yang disediakan produsen.[12]

a. Konsumen
Dalam transaksi ekonomi, disebut konsumen karena seseorang atau badan hukum menggunakan suatu produk barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain, konsumen adalah setiap orang, kelompok atau badan hukum pemakai suatu harta benda atau jasa karena adanya hak yang sah, baik dipakai untuk pemakaian akhir maupun proses produksi selanjutnya.[13] Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU 8/1999, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak diperdagangkan.[14] Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.[15]


b. Pelaku Usaha (Produsen)
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU 8/1999, pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.[16] Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.[17]


c. Barang dan Jasa
Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.[18] Sedangkan Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.[19]


2.1.4 Perangkat Hukum
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.

Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:[20]
  1. Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33;
  2. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821;
  3. Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat;
  4. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa;
  5. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen;
  6. Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota;
  7. Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.

Di samping UUPK, hukum konsumen juga ditemukan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku yang juga memuat berbagai kaidah yang menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan tersebut tidak khusus diterbitkan untuk konsumen, setidak-tidaknya dapat dijadikan dasar bagi perlindungan konsumen.[21] UUPK 1999 merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. “Tindak Pidana Perlindungan Konsumen” tidaklah hanya terbatas yang dirumuskan dalam UUPK 1999, tetapi juga di luar UUPK 1999.[22]

UU 8/1999 seperti halnya undang-undang pada umumnya tidak berdiri sendiri dan berhubungan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Bahkan terdapat beberapa ketentuan dalam UU 8/1999 yang secara ekplisit menyatakan jika ketentuannya terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya.


2.2 Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Usaha Dalam Hukum Perlindungan Konsumen
Secara gramatikal, tanggung jawab dapat pula berarti keadaan wajib bertanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya); misal, gajinya tidak sepadan dengan tanggung jawab yang dipikulnya.[23]

Masalah pertanggungjawaban memiliki keterkaitan dengan pelanggaran terhadap suatu peraturan, serta suatu kewajiban yang harus dilaksanakan berdasarkan perjanjian maupun ketentuan hukum., sebagaimana dijelaskan dalam definisi pertanggungjawaban (responsibility) yaitu “the state of being answeable for an obligation, and includes judgment, skill, ability and capacity. The obligation to answer for an act done, and to repair an otherwise make restitution for any injury it may have caused.”.[24] Akibat dari pelanggaran tersebut maupun wanprestasi yang dilakukan, maka menimbulkan kewajiban kepada pihak yang melakukan pelanggaran maupun wanprestasi untuk melakukan perbaikan atau memberikan ganti kerugian kepada pihak lain. Terdapat beberapa manfaat yang akan diperoleh konsumen dari adanya kewajiban pelaku usaha untuk memberikan penggantian kerugian, yaitu: a. untuk memulihkan hak-hak konsumen yang dilanggar, b. Untuk memulihkan atas kerugian baik materiil maupun immateriil yang telah diderita oleh konsumen, c. Untuk memulihkan keadaan semula.[25]

Posisi konsumen yang lemah di hadapan pelaku usaha (produsen) memunculkan pemikiran perlunya suatu peraturan yang berpihak kepada kepentingan konsumen. Aspek pertama dari upaya perlindungan konsumen adalah pemberlakuan peraturan tentang pentingnya tanggung jawab produsen atas kemungkinan terjadinya kerugian yang timbul akibat penggunaan produknya. Tanggung jawab produsen terhadap terhadap keselamatan konsumen akibat penggunaan barang dan/atau jasa yang dihasilkannya disebut tanggung jawab produk (product liability).

Tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan konsumen bukanlah merupakan hal yang baru. Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods) , baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun terkait masalah perlindungan konsumen, tanggung jawab produk bukan hanya dimaknai benda berwujud (tangible goods) tapi juga termasuk yang bersifat in-tangible seperti penyediaan jasa penyiaran. Tuntutan tanggung jawab produk pada dasarnya dibenarkan apabila terbukti ada pelanggaran berupa: (a) Unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan pelaku usaha atau perusahaan; (b) Unsur kerugian yang dialami konsumen dan ahli warisnya dan; (c) Unsur adanya hubungan kausal antara unsur perbuatan melawan hukum dengan unsur kerugian tersebut.

Dalam prinsip product liability berlaku sistem tanggung jawab mutlak, yaitu suatu prinsip tanggung jawab dimana kesalahan tidak dianggap sebagai faktor yang menentukan. Dalam tanggung jawab mutlak tidak harus ada hubungan antara subjek yang bertanggung jawab dengan kesalahannya. Jika konsumen yang merasa dirugikan atas produk yang dihasilkan produsen, maka itu menjadi dasar untuk bisa menggugat yang bersangkutan tanpa harus membuktikan kesalahan produsennya. Dalam hal ini, produsen bisa terbebas dari tuntutan tanggung jawab jika mereka mampu membuktikan bahwa kesalahan itu bukan darinya. Begitupun sebaliknya, apabila produsen tidak mampu membuktikan pembelaannya, maka akan dikenai tanggung jawab produk.[26]

Sanksi pidana terhadap pelaku usaha terdapat dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 63 UU 8/1999. Pasal 62 ayat (2) UU 8/1999 memiliki ancaman pidana paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 UU 8/1999. Sedangkan Pasal 62 ayat (3) memiliki ancaman pidana yang lebih rendah yaitu pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f UU 8/1999. Ketentuan di dalam Pasal 62 ayat (3) menyatakan bahwa terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Hal ini berarti ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP/ Wetboek van Strafrecht) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang memuat ketentuan pidana juga dapat diterapkan terhadap perbuatan pelaku usaha yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian. Selain itu, terdapat pula pidana tamabahan berupa perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran dan pencabutan izin usaha terhadap sanksi pidana dalam Pasal 62.[27]

Namun perlu juga diingat jika pemberlakuan sanksi pidana merupakan jalan yang paling akhir jika penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak tercapai. Para pihak hendaknya berupaya menyelesaikan sengketanya melalui jalur di luar pengadilan terlebih dahulu baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun cara-cara di luar pengadilan lainnya.

Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan sosial yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.[28]


BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sanksi pidana terhadap pelaku usaha terdapat dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 63 UU 8/1999 dengan ancaman pidana yang terberat yaitu pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00. Terhadap pelanggaran pelaku usaha yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.


3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penyusun antara lain:
Hukum perlindungan konsumen harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar kepentingan konsumen dapat dilindungi tanpa mengurangi gairah dunia usaha khususnya di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
  • Burhanuddin S. 2011. Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal. Malang: UIN-Maliki Press.
  • Harianto, D. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Periklanan yang Menyesatkan. Cet.1. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
  • Nugroho, S. A. 2008. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Ed. 1. Cet. 1. Jakarta: Kencana.
  • Shofie, Y. 2011. Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42).
  • Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821).
  • Baban, E. 2013. Kasus tentang Perlindungan Konsumen. http://erikababan.blogspot.com/2013/02/kasus-tentang-perlindungan-konsumen.html. [4 November 2014].
  • 2013. Perlindungan konsumen. http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen. [27 Oktober 2014].


[1]  2013. Perlindungan konsumen. http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen. Diakses pada 27 Oktober 2014.
[2] Pasal 1 angka 1 dan 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[3]  Burhanuddin S. 2011. Pemikiran Hukum Perlindungan Konsumen dan Sertifikasi Halal. Halaman 1-2.
[4] Az Nasution dalam Yusuf Shofie. Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Halaman 48-49.
[5] Sidharta dalam Yusuf Shofie. Op. Cit. Halaman 49.
[6]  Az Nasution dalam Susanti Adi Nugroho. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala dan Implementasinya. 2008. Halaman 57.
[7] Shidarta dalam Susanti Adi Nugroho. Op. Cit.
[8] Susanti Adi Nugroho. Op. Cit. Halaman 57-58.
[9] Burhanuddin S. Op. Cit. Halaman 3.
[10] Pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[11] Penjelasan Pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[12] Burhanuddin S. Op. Cit. Halaman 6.
[13] Muhammad dan Alimin dalam Burhanuddin S. Op. Cit.
[14] Pasal 1 angka 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[15] Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[16] Pasal 1 angka 3 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[17] Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[18] Pasal 1 angka 4 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[19]  Pasal 1 angka 5 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[20] Ibid.
[21]  Man Suparman Sastrawidjaja dalam Susanti Adi Nugroho. Op. Cit. Halaman 69.
[22]  Yusuf Shofie. Op Cit. Halaman 55.
[23]  W.J.S. Poerwardaminta dalam Dedi Harianto. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Periklanan yang Menyesatkan. Cet. 1. Halaman 211.
[24]  Henry Campbell Black dalam Dedi Harianto. Op. Cit.
[25] Ari Purwadi dalam Dedi Harianto. Op. Cit.
[26] Burhanuddin S. Op. Cit. Halaman 20-21.
[27] Pasal 61-63 UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
[28] Dalam Erika Baban. Kasus tentang Perlindungan Konsumen. http://erikababan.blogspot.com/2013/02/kasus-tentang-perlindungan-konsumen.html. Diakses pada 4 November 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar