Sabtu, 06 Februari 2016

Perjanjian Electronic Commerce Sebagai Suatu Perjanjian Hukum yang Mengikat

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan peradaban manusia pada abad millenium sekarang ini merupakan evolusi yang senantiasa berubah dan meningkat setiap saat yang tentunya berdampak langsung pada pola perilaku masyarakat menuju masyarakat modern yang tidak dapat terlepas pada teknologi bahkan pada satu titik manusia memiliki ketergantungan pada teknologi tersebut.

Salah satu perkembangan yang sangat pesat dalam ilmu pengetahuan diantaranya terjadi pada teknologi bidang telekomunikasi, informasi dan komputer yang pada saat sekarang menuju kepada revolusi teknologi
informasi. Terlebih dengan konvergensi perkembangan teknologi informasi dan teknologi komunikasi menyebabkan semakin bervariasinya bentuk jasa fasilitas telekomunikasi yang ada, serta semakin canggihnya teknologi informasi yang berkembang saat ini. Hal ini menurut Ahmad M. Ramli, dengan mensitir pendapat Alvin Toffler, mengindikasikan bahwa peradaban teknologi informasi yang merupakan ciri dari masyarakat gelombang ketiga telah nampak. Toffler menguraikan bahwa peradaban yang pernah dan sedang dijalani manusia terbagi menjadi tiga gelombang. Gelombang pertama mulai dari 8000 SM sampai akhir 1700 M, pada tahapan ini peradaban manusia ditandai dengan peradaban agraris dan pemanfaatan energi yang terbarukan. Gelombang kedua berlangsung antara tahun 1700 M hingga 1970-an dengan munculnya revolusi industri. Dan, gelombang ketiga ini sudah mulai jelas bentuknya, ditandai dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Semakin berkembangnya teknologi di bidang jaringan komputer, menyebabkan pada gilirannya medium internet ini dijadikan sarana interaksi dalam berbagai aspek kehidupan secara global. Pada hari ini, dengan sangat mudahnya seseorang dapat terhubung dengan orang lain dari belahan bumi lain tanpa harus bertatap muka melakukan hubungan komunikasi yang lancar. Perkembangan ini pun semakin masuk ke setiap aspek kehidupan manusia, tak pelak lagi salah satunya aspek kegiatan komersil.[1]

Electronic commerce atau e-commerce merupakan salah satu aspek komersil yang mulai muncul dan tumbuh pesat akibat berkembangnya teknologi informasi. Di dalam e-commerce terdapat perjanjian  terkait perjanjian jual beli. Namun perjanjian dalam e-commerce tentu memiliki berbagai perbedaan yang membedakannya dengan perjanjian konvensional dan bisa juga membawa akibat hukum yang berbeda. Untuk itu penyusun akan mencoba mengangkat tentang persoalan ini..


1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat adalah: Bagaimanakah perjanjian e-commerce sebagai suatu perjanjian hukum yang mengikat?


1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui perjanjian e-commerce sebagai suatu perjanjian hukum yang mengikat.


BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian E-Commerce
Perdagangan elektronik (bahasa Inggris: electronic commerce atau e-commerce) adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-commerce dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.[2]

Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Perdagangan melalui Sistem Elektronik adalah Perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.[3]

Lebih luas lagi, e-commerce merupakan lingkup perdagangan yang dilakukan secara elektronik, dimana di dalamnya termasuk:[4]
  1. Perdagangan via Internet (Internet Commerce);
  2. Perdagangan dengan fasilitas Web Internet (Web-Commerce)
  3. Perdagangan dengan sistem pertukaran data terstruktur secara elektronik (Electronic Data Interchange/EDI).

Apabila dibandingkan dengan proses perdagangan tradisional (manual), e-commerce memiliki beberapa keunggulan. Bagi Konsumen: harga lebih murah, belanja cukup pada satu tempat. Bagi Pengelola bisnis: efisiensi, tanpa kesalahan, tepat waktu. Bagi Manajemen: peningkatan pendapatan, loyalitas pelanggan. Dengan keuntungan-keuntungan tersebut yang menjadikan e-commerce menjadi alternatif perluasan bisnis bagi para pelaku usaha dan sudah menjadi bagian dari gaya hidup manusia modern di era teknologi sekarang ini.

Akan tetapi, disamping keuntungan secara ekonomis yang akan didapatkan oleh para pelaku e-commerce, dari sisi hukum, e-commerce juga menimbulkan beberapa permasalahan hukum yang pada akhirnya menuntut adanya regulasi yang mengatur tentang transaksi komersial berbasis e-commerce ini. Hal ini timbul akibat adanya perbedaan karakteristik antara transaksi perdagangan jual-beli tradisional dengan transaksi jual-beli berbasis e-commerce.

Beberapa permasalahan yang timbul dalam transaksi jual-beli e-commerce antara lain:[5]
  1. Otentikasi subjek hukum yang membuat transaksi melalui internet;
  2. Saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum;
  3. Objek transaksi yang diperjualbelikan;
  4. Mekanisme peralihan hak;
  5. Hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-lain;
  6. Legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat bukti; 
  7. Mekanisme penyelesaian sengketa;
  8. Pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian sengketa.

E-Commerce merupakan salah satu bentuk transaksi perdagangan yang paling banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi. Melalui transaksi perdagangan ini, konsep pasar tradisional (dimana penjual dan pembeli secara fisik bertemu) berubah menjadi konsep telemarketing (perdagangan jarak jauh dengan menggunakan internet).[6] E-commerce pun telah mengubah cara konsumen dalam memperoleh produk yang diinginkan.

Melalui e-commerce semua formalitas-formalitas yang biasa digunakan dalam transaksi konvensional dikurangi di samping tentunya konsumen pun memiliki kemampuan untuk mengumpulkan dan membandingkan informasi seperti barang dan jasa secara leluasa tanpa dibatasi oleh batas wilayah (borderless). Hal yang sama dikemukakan oleh Michel Pattison dalam “Legal Implications of Doing business on the Internet”, Information Management & Computer Security 5/1 (1997) 29-24, di halaman 29 sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar Munir dalam Cyber Law, Policies and Challenges bahwa: “There are several features, which distinguish electronic commerce from business conducted by traditional means. In particular, electronic commerce establishes a global market-place, where traditional geographic boundaries are not only ignored, they are quite simply irrelevant...”.

Dampak dari adanya internet sebagai hasil revolusi teknologi informasi bagi konsumen di satu sisi telah mengubah perilaku konsumen menjadi semakin kritis dan selektif dalam menentukan produk yang akan dipilihnya. Konsumen memiliki akses yang lebih besar pada bermacam-macam produk. Begitu pula bagi produsen, kemajuan ini memberi dampak positif dalam memudahkan pemasaran produk sehingga dapat memotong jalur distribusi yang berakibat pada penghematan biaya dan waktu, serta memudahkan produsen dalam menghimpun database pelanggan secara elektronik, di samping kemudahan-kemudahan lainnya.
Sebaliknya, karena pihak yang melakukan transaksi secara fisik tidak saling bertemu, maka kemungkinan lainnya berbagai bentuk kecurangan atau kekeliruan menjadi perhatian utama yang perlu penanganan lebih besar. Sisi negatif lainnya yang seringkali tampak dalam transaksi e-commerce adalah apabila barang yang ditawarkan berkualitas rendah atau pelayanan yang diberikan oleh produsen kurang memuaskan, maka kondisi tersebut akan mudah menyebar ke berbagai konsumen lainnya tanpa mampu dibendung, yang berakibat pada pengurangan jumlah konsumen. Di samping itu, karena begitu banyaknya jumlah orang yang dapat mengakses internet mengakibatkan produsen sukar untuk mendeteksi apakah pembeli yang hendak memesan produknya adalah pembeli yang sesungguhnya atau bukan (iseng belaka).

Kondisi di atas jelas merugikan baik bagi produsen terlebih konsumen yang relatif memiliki posisi tawar (bargaining position) lebih rendah dibandingkan produsen/pelaku usaha. Lemahnya posisi konsumen sering kali menjadi objek aktivitas untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari produsen sehingga keseimbangan yang diharapkan melalui hubungan jual beli tidak tercapai.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab lemahnya kedudukan konsumen dalam melakukan transaksi perdagangan antara lain: ketidaktahuan konsumen pada mitra bisnisnya, kurang pahamnya konsumen pada mekanisme transaksi, kurang jelasnya informasi yang diberikan produsen mengenai produk yang ditawarkan dan sebagainya.

Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan iklim berusaha yang sehat terlebih bagi konsumen dalam melakukan transaksi perdagangan melalui e-commerce, perlu diupayakan suatu bentuk pengaturan baru yang memadai dan mampu mengatur segala aktivitasnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Severine Dusollier bahwa “Legislative developments are facing a new challenge brought on by the rapid development of the on-line technology and by the newly created difficulty of applying existing regulations in a networked environment.”.[7]

Kegiatan melalui media sistem elektronik yang disebut juga ruang siber (cyber space) meskipun sifatnya virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata.[8]

Di samping memberikan segala kemudahan dan manfaat, e-commerce juga memiliki beberapa kelemahan atau kekurangan serta persoalan terutama dalam ranah hukum.


2.1 Perjanjian E-Commerce sebagai Suatu Perjanjian Hukum yang Mengikat
Berbicara tentang transaksi perjanjian jual-beli berbasis e-commerce tidak terlepas pada konsep jual-beli yang diatur secara umum dalam Pasal 1457 s.d 1540 KUHPdt. Dalam faham undang-undang, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Ps. 1313 KUHPdt). Sedangkan dalam teori baru yang diungkapkan oleh Van Dunne, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Agaknya pengertian perjanjian teori baru ini lebih jelas dan lengkap dibandingkan pengertian pada Pasal 1313 KUHPdt, karena dalam teori baru tersebut dengan jelas bahwa perjanjian timbul akibat adanya suatu perbuatan hukum dan hubungan hukum, dengan tujuan adanya suatu akibat hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Walaupun demikian, tidak semua perjanjian dapat melahirkan perikatan dan oleh karenanya para pihak belum tentu terikat guna melaksanakan prestasi tertentu yang sudah disepakati. Untuk itu, suatu perjanjian agar dapat memiliki sifat mengikat, haruslah memenuhi syarat sah yang menjadikan perjanjian itu mengikat para pihak.[9]

Dalam perspektif hukum, suatu hubungan hukum perjanjian akan melahirkan suatu perikatan bagi para pihak sebagai dasar perjanjian tersebut dapat dilaksanakan. Perikatan adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.[10]

Seperti halnya dalam jual-beli tradisional, bahwa perjanjian jual-beli dianggap tela terjadi seketika setelah para pihak mencapai sepakat tentang kebendaan dan harga atas barangnya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, dan harga juga belum dibayarkan. Begitu juga dalam jual-beli berbasis e-commerce, bahwa lahir dan mulai berlakunya suatu perjanjian jual-beli berbasis e-commerce adalah ketika tercapainya kesepakatan para pihak, kecuali dijanjikan lain. Dimana kesepakatan terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh Pengirim telah diterima dan disetujui oleh Penerima. Jadi, dengan kata lain suatu perjanjian elektronik itu lahir ketika penawaran transaksi telah dikirim oleh Pengirim dan telah diterima oleh Penerima. Tetapi saat terjadinya kesepakatan seperti demikian dapat saja disimpangi oleh para pihak dengan mengadakan perjanjian tentang bagaimana kesepakatan itu akan tercapai. Mengenai kapan waktu pengiriman dan penerimaan tersebut dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU-ITE.

Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik telah dikirim dengan alamat yang benar oleh Pengirim ke suatu Sistem Elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan Penerima dan telah memasuki Sistem Elektronik yang berada di luar kendali Pengirim. Dan jika tidak diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik di bawah kendali Penerima yang berhak.

Dari uraian di atas, bahwa berlaku dan mengikatnya perjanjian jual-beli elektronik terjadi sesuai dengan kemauan para pihak, tetapi apabila para pihak tidak menentukan tentang kapan harus dicapainya detik kesepakatan, maka ketentuan yang ada pada UU-ITE dan aturan pelaksanaanya yang berlaku.
Yang perlu diperhatikan juga adalah tentang serah terima barang/penyerahan/levering yang menjadi syarat berpindahnya hak kepemilikan suatu benda yang menjadi objek transaksi jual-beli, dari penjual kepada pembeli. Bahwa ketika barang yang telah disepakati sebagai pokok transaksi jual-beli dikirim oleh pengirim (penjual) dan diterima oleh penerima (pembeli) pada detik itulah hak kepemilikan atas benda tersebut beralih. Hal tersebut dengan diikuti kewajiban pengirim (penjual) memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang apabila barang yang dikirim tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau terdapat cacat tersembunyi.[11]

Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dimaksud kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.[12]

Berdasarkan Pasal 46 ayat (1) PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, transaksi elektronik yang dilakukan para pihak memberikan akibat hukum kepada para pihak.[13]

Ketentuan ini memberikan perlindungan dan kepastian hukum bahwa perjanjian yang dilakukan secara elektronik mengikat para pihak dan memiliki akibat hukum sama seperti perjanjian konvensional.

Penyelenggaraan Transaksi Elektronik yang dilakukan para pihak wajib memperhatikan:[14]
  1. Iktikad baik;
  2. Prinsip kehati-hatian;
  3. Transparansi;
  4. Akuntabilitas; dan
  5. Kewajaran.


Transaksi Elektronik dapat dilakukan berdasarkan Kontrak Elektronik atau bentuk kontraktual lainnya sebagai bentuk kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak. Kontrak Elektronik dianggap sah apabila:[15]
  1. Terdapat kesepakatan para pihak;
  2. Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. Terdapat hal tertentu; dan
  4. Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Ketentuan ini selaras dengan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian.

Kontrak Elektronik dan bentuk kontraktual lainnya yang ditujukan kepada penduduk Indonesia harus dibuat dalam Bahasa Indonesia. Kontrak Elektronik yang dibuat dengan klausula baku harus sesuai dengan ketentuan mengenai klausula baku sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kontrak Elektronik paling sedikit memuat:[16]
  1. Data identitas para pihak;
  2. Objek dan spesifikasi;
  3. Persyaratan Transaksi Elektronik;
  4. Harga dan biaya;
  5. Prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
  6. Ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.

Suatu perjanjian jual-beli itu berlaku dan mengikat para pihak adalah apabila perjanjian tersebut sah menurut undang-undang, yakni seperti yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPdt. Begitu juga dalam perjanjian jual-beli berbasis e-commerce, bahwa suatu perjanjian jual-beli melalui internet dianggap sah apabila memenuhi syarat sah suatu kontrak elektronik.[17] Keharusan perjanjian e-commerce memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata, ditegaskan kembali Pasal 47 ayat (2) PP 82/2012.

Dengan demikian perjanjian e-commerce telah memiliki payung hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan sehingga memiliki kekuatan mengikat dan akibat hukum seperti halnya perjanjian konvensional. Perjanjian e-commerce wajib memenuhi syarat sahnya kontrak elektronik sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.


BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
E-Commerce atau perdagangan melalui sistem elektronik adalah Perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.

Perjanjian e-commerce telah memiliki payung hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan sehingga memiliki kekuatan mengikat dan akibat hukum seperti halnya perjanjian konvensional. Perjanjian e-commerce wajib memenuhi syarat sahnya kontrak elektronik sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.


3.2 Saran
Saran yang dapat penyusun berikan antara lain:
  1. Setiap perjanjian e-commerce hendaknya mematuhi dan memenuhi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
  2. Pelaku usaha dan konsumen hendaknya dapat memanfaatkan e-commerce secara bertanggung jawab sebagai suatu inovasi yang dapat mempermudah kehidupan.


DAFTAR PUSTAKA
  • Hakim, A. L. Aspek Hukum Transaksi Jual-Beli Berbasis E-Commerce dalam Sistem Hukum Indonesia. https://www.academia.edu/8096465/ASPEK_HUKUM_TRANSAKSI_JUAL-BELI_BERBASIS_E-COMMERCE_DALAM_SISTEM_HUKUM_INDONESIA. Diakses 11 Oktober 2015.
  • Mansur, D. M. A. dan Gultom, E. 2005. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi.
  • Sunarso, S. 2009. Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik: Studi Kasus Prita Mulyasari.
  • Perdagangan Elektronik. https://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_elektronik. Diakses 11 Oktober 2015.
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58).
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 189).


[1] Aal Lukmanul Hakim. Aspek Hukum Transaksi Jual-Beli Berbasis E-Commerce dalam Sistem Hukum Indonesia. https://www.academia.edu/8096465/ASPEK_HUKUM_TRANSAKSI_JUAL-BELI_BERBASIS_E-COMMERCE_DALAM_SISTEM_HUKUM_INDONESIA. Halaman 1-2.
[3] Pasal 1 angka 17 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
[4] Wiwied Widianingsih dalam Aal Lukmanul Hakim. Op. Cit. Halaman 3.
[5] Ellen Liena Christine dalam Aal Lukmanul Hakim. Op.Cit. Halaman 3-4.
[6] Albanda dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. 2005. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi. Halaman 144.
[7] Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Op. Cit. Halaman 144-146.
[8] Siswanto Sunarso. 2009. Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik: Studi Kasus Prita Mulyasari. Halaman 44.
[9] Aal Lukmanul Hakim. Op. Cit. Halaman 6.
[10] Mariam Darus Badrulzaman dalam Aal Lukmanul Hakim. Op. Cit. Halaman 6.
[11] Aal Lukamanul Hakim. Op. Cit. Halaman 12-13.
[12] Pasal 1 angka 17 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
[13] Pasal 46 ayat (1) PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
[14] Pasal 46 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
[15] Pasal 47 PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
[16] Pasal 48 PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
[17] Aal Lukmanul Hakim. Op. Cit. Halaman 12.

1 komentar:

  1. Permisi admin, Saya ada jurnal terkait EDI yang dijadikan sebagai model kontrak elektroniknya amerika berikut

    1. J. Ritter and A. Boss, "The Commercial Use of Electronic Data Interchange—A Report", The Business Lawyer, vol. 45, pp. 1647-1716, 1990.

    2. M. Baum, P. Otero, J. Ritter, T. McCarthy and A. Boss, "Model Electronic Data Interchange Trading Partner Agreement and Commentary", The Business Lawyer, vol. 45, pp. 1717-1749, 1990.

    3. M. Baum and H. Perrit, Electronic contracting, publishing and EDI law, 1st ed. New York: John Wiley & Sons, 1991. ISBN 978-0-47153-135-7

    Daftar pustaka milik saya yang lain terkait dgn kontrak elektronik dan tanda tangan elektronik saya lampirkan pada tautan berikut https://gist.github.com/dawud-tan/e7827e73b564643f366bf64df3da2f5e
    Semoga bisa saling melengkapi, terima kasih.

    BalasHapus